Friday 30 May 2014

Mendadak Team Sukses



Banyak orang lebih suka berkhabar tentang kegagalan orang tapi sedikit berkhabar keberhasilan orang. Banyak orang lebih gemar berkhabar kekurangan orang tapi sedikit berkhabar karya diri sendiri. Banyak orang mencintai berkhabar keinginan dan angan besar tapi sedikit berkhabar tentang memulai dari hal kecil. Banyak orang hobby berkhabar makian tapi sedikit berkhabar tentang semangat. 

Celakanya, perspektif "banyak orang" ini pula yang digunakan team sukses pemenangan. Celakanya, perspektif "banyak orang" ini pula yang digunakan simpatisan. Celakanya, perspektif "banyak orang" ini pula yang digunakan oleh calon pemilih.

Berkhabar dan memilih sesungguhnya sederhana. Berkhabar itu sederhana: tunjukkan yang telah dilakukan, tunjukkan yang akan dilakukan, katakan maaf untuk yang gagal diwujudkan, dan katakan semangat untuk yang akan diupayakan. Memilih pula pun sesungguhnya sederhana: pelajari siapa yang akan dipilih, apa yang sudah dilakukannya, apa yang akan dilakukannya, timbang-bandingkan, lalu pilih saat perhelatan pemilu digelar. 

Sederhana sesederhana bernafas. Tapi gagap-merdeka kadang bikin banyak orang gagap ngga jelas menempatkan posisi sebagai peran apa: team sukses engga pemilih sederhana juga engga jelas. Orang demikian saling cela-saling serang opini dalam ruang publik yang ngga jelas. Ngga peduli sosial media internet, facebook, blog, whatsup, BB, sms, koran, pengajian, mimbar khutbah, hingga perbincangan keseharian. Mendadak rame-rame jadi team sukses tanpa bekal data cukup: ujung-ujung cuma reproduksi black-campign. Jadi ngga jelas ini sebuah budaya cerdas atau budaya bebal yang telah tercipta. Pemilih ya memilih saja, kalah menang itu urusan team sukses: itu namanya profesional karena ada banyak pekerjaan bisa dilakukan bukan cuma berdebat apa yang mau dipilih.

Thursday 18 April 2013

Hiperbola


Bersiap home run pasca hari yang melelahkan ini. Tapi kaya’nya musti bubuhkan sedikit komentar sebelum matikan PC. Sekilas tadi televisi di ruang bawah siarkan iklan laynan masyarakat tentang keselamatan penerbangan. Dikisahkan seorang ibu yang penumpang pesawat terbang tergopoh tergesa ingin membuka pintu pesawat dari dalam saat pesawat dalam keadaan bahaya. He… heran juga di Indonesia ada iklan begituan. Media yang membodohi masyarakat atau masyarakatnya yang kelewat bodoh sehingga musti ada iklan bodoh.

Namanya penumpang umum kalau dibilang pesawat dalam kondisi bahaya atau bersedia kecelakaan tentu insting-nya adalah pegang kursi kuat-kuat atau tutup mata berdoa. Mana ada yang kalap buka pintu pesawat? Kecuali dia penerjun yang membawa parasuit di punggung! Berani meloncat dari pintu pesawat adalah pelajaran pertama kursus penerjun pemula, bila nggak disuruh terjun justru malah bersyukur. Lha iklan ini justru memilih tokoh penumpang ibu-ibu yang nyelonong buka pintu pesawat.

Jadi teringat tulisan di gardu listrik peninggalan Hindia-Belanda di perempatan Njambu, Jogjakarta. Saat pulang sekolah dasar, namanya juga anak belajar baca aku dan teman-teman selalu sempatkan membaca tulisan di pintu plat besi-nya masih jelas walau telah lama tak dipakai. Ada gambar tengkorak dan di bawahnya ada tulisannya adalah:

pas op voor hoogspanning
beware of high voltage power

awas listrik tegangan tinggi
sing ngemek mati

Kkkwwkk… semua tulisan di atas artinya sama dalam aneka bahasa kecuali yang paling bawah. “Sing ngemek mati” adalah bahasa Jawa yang artinya “siapa pegang mati”. Nggak nyambung tapi sungguh peringatan sangat dasyat. Lha cuma peringatan orang lewat agar berhati-hati sementara ini baru pegang saja sudah mati. Lantas apa kaitan denga iklan layanan masyarakat tentang larangan buka pintu? Agaknya iklan layanan masyarakat ini menggunakan insting “struktur pengetahuan” yang sama. Komunikasi ala hiperbola.

Friday 8 February 2013

Puisi-Ku

Kabut Terkenang: Akankah Kau Pergi?

Semburat rekah merah terlukis langit fajar menjelang,
Porandakan dekap lebat kabut sisa uap malam,
Laun kabut menipis memudar tinggalkan lamun,
Rintihku, jangan... jangan pergi...

Kabut sisa setahun surut tanpa beban siap tinggalkan, 
Terbirit takut tertelan rekah merah mentari,
Kabut menipis beringsut tinggalkan aneka kenang, 
Rintihku, jangan... jangan pergi...

Saat memang pasti akan pergi,
Tapi saat benar pergi ternyata tak mudah disikapi,
Seperti seperti seperti mau pergi memang tlah berkali,
Jangan... jangan... pergi, karena seperti kan benar pergi kali ini.
Kabut Terkenang: Akankah Kau Pergi?

Semburat rekah merah terlukis langit fajar menjelang,
Porandakan dekap lebat kabut sisa uap malam,
Laun kabut menipis memudar tinggalkan lamun,
Rintihku, jangan... jangan pergi...

Kabut sisa setahun surut tanpa beban siap tinggalkan, 
Terbirit takut tertelan rekah merah mentari,
Kabut menipis beringsut tinggalkan aneka kenang, 
Rintihku, jangan... jangan pergi...

Saat memang pasti akan pergi,
Tapi saat benar pergi ternyata tak mudah disikapi,
Seperti seperti seperti mau pergi memang tlah berkali,
Jangan... jangan... pergi, karena seperti kan benar pergi kali ini.

Wednesday 30 January 2013

Puisi-Ku

Saat-saat Hati

Saat hati bergetar siapa tahu apa,
Saat hati bergolak siapa tahu bagaimana,
Saat hati bergerak siapa tahu mengapa,
Saat hati bergeletak siapa tahu di mana.

DenBagusE



     Orang Jawa mengenal istilah DenBagusE (baca: Den Bagus-e). Bila diurai "den" itu berarti tuan sementara "bagus" itu bermakna cakep atau tampan. Tapi bila disatukan menjadi Den Bagus adalah kata ganti orang untuk menyebut pemuda atau remaja berdarah biru atau yang "berkasta" priyayi. Den Bagus berbeda dengan Den Mas karena Den Mas itu panggilan singkat Raden Mas, sudah merujuk tanda pangkat dalam struktur birokrasi tradisional. 

Hal menarik ketika manusia Jawa juga mengenal istilah Den Bagus-e. Akhiran "e" di belakang bisa diartikan sebagai "nya" dalam bahasa Indonesia alias kata ganti orang ketiga. Tapi akhiran "e" juga bermakna sendiran atau ejekan terselubung. Btw, Den Baguse jangan dibayangkan sebagai pemuda priyayi terpandang. Den Baguse adalah nama panggilan untuk tikus. Hewan pengerat yang dalam kerangka berpikir Jawa identik dengan kotor, berperilaku busuk-destruktif, hama, dan licik. Tapi jadi makin menarik mengapa kata "Den Baguse" untuk menyebut tikus? Pertama, huruf "e" yang terletak samar di belakang menjadi pembeda dengan Den Bagus (beneran). Kedua, orang Jawa sudah tobat dengan perilaku tikus (tikus sawah dalam rekam memori orang desa dan tikus rumah dalam rekam memori orang kota) sebagai hesan super kurang ajar. Kemampuan beradaptasi dengan kehidupan dan kebiasaan komunitas manusia adalah salah satu biang: di mana ada manusia di sana ada tikus. 

Yang lagi menarik bahwa blueprint di kepala orang Jawa terlanjur terekam stereotipe bahwa tikus punya karakter (mampu) balas dendam bila sakit hati. Salah satu biang dendam kesumat tikus dipercaya terbit saat saksikan teman dibasmi. Biasa mereka akan mengamuk sejadinya. Jadi inget satu temen SD dan satu temen SMP pernah berangkat sekolah bersendal jepit dengan perban di jempol kaki. Ketakutan wabah dendam tikus akhirnya membuat orang Jawa memilih istilah Den Baguse untuk tidak menyebut "tikus" saat bergossip kenakalan tikus semalam. Sederhana alasan: biar tikus tak marah mendengar saat dibicarakan orang. 

Tapi tikungan yang paling lucu adalah istilah Den Baguse juga dipakai untuk menyebut orang bukan kultur priyayi tapi bergaya priyayi (bukan ningrat tapi sok bergaya ningrat). Tentu saja senutan ini tidak masuk ranah standart dalam kerajawian bahasa Jawa melainkan sekedar berfungsi sebutan-sindiran. Hal sama terjadi pada Kyai-"ne" yang misal hanya seekor bernama kerbau.

Monday 28 January 2013

Badan Tinggi Untung-Tak Untung

Banyak temen (yang maaf bertubuh mungil) bilang bahwa jadi orang tinggi itu enak. Mereka so pasti ahli lah sebut aneka "enak" punya tubuh tinggi menurut versi mereka. Sebut aja mudah menggapai barang tinggi, lebih disuka lawan jenis, mudah match pilih pakaian, lebih PeDe saat berbincang, nggak disepelein orang, dll. Pokoke banyak lah versi mereka. Tapi aku punya versi sendiri, ku pikir orang tinggi juga rentan tertimpa banyak masalah. Memang aku tak merasa badan tinggi cuma seandainya aku lebih tinggi lagi mungkin lebih banyak masalah kudapat. Dengan tinggi badan segini aja setidaknya dalam setahun dua kali kepentok gawang pintu rumah kampung, nyangkut tali jemuran tetangga belakang rumah, dll. Nah terbaru hari ini saat jadi panitia sosialisasi kampus hingga harus bertandang ke sekolah-sekolah. Usai temui guru BP dan berpamitan, aku bergegas ke luar kantor sambil tutup pintu lagi rapat-rapat; karena awal ku masuk pula pintu tertutup rapat. Aku tutup tanpa ngelihat pintu melainkan berlalu sambil lalu menatap dunia luar. Saat pintu susah ditutup aku merasa ada yang ganjil pada pintu hingga susah ditutup: sesuatu yang memaksaku ngelihat ke belakang apa yang terjadi dengan pintu. Olala... kepala bu guru BP kegencet! Aduh kenapa ada di situ? Astagfirullah, tubuh imut mungilnya tak tampak olehku saaat tutup pintu. Untung cuma kejepit pelan tanpa saksi mata. Kalau sampai ada kenapa-kenapa masuk koran kan berabe. Maaf ya maaf...

Saturday 26 January 2013

Berpikir Positif Sikapi Bencana

Saat fenomena bencana menerpa aneka gaya analisa alias pemaknaan akan mengucur bagai air bah datang. Bencana bisa menjadi lahan teks yang empuk dan liar untuk dimaknai. Gaya pemaknaan orang atas bencana bermacam mulai dari galau-miris, magis, ilmiah-kritis, hingga yang super sadis. Super sadis adalah ketika korban bencana dikonstruksikan sebagai pendosa yang layak mendapat azab. Ulama dan "ulama" sering memilih perspektif ini dalam orasi ruhani mereka. Sebuah peringatan atau ajakan kebencian? Ah kadang keduanya beda tipis dalam hasil. Bila diijinkan sampaikan gagasan, mohon pakailah kacamata positif.   Jadilah ujung tombak penyeru masyarakat untuk bangkit bukan makin dirundung merana. Analogi sederhana saat anak kita jatuh, "Bangun berdiri, jangan nangis yang penting besok lagi hati-hati!" Ungkapan ini lebih maanfaat daripada, "Sakit? Udah dibilang jangan lari-lari masih lari-lari, sekarang jatuh kan, sukurin rasain sakit. Itu sekarang hukumannya."  Nasihat yang memberdayakan lebih maanfaat karena memuat dua nilai sekaligus (refleksi kesalahan dan kekuatan recovery bangkit dari keterpurukan).  Btw nasihat produktif yang dihasilkan pemaknaan positif lebih maanfaat dan dibutuhkan. Jangan biarkan cobaan menjadi pengantar ke tiang gantungan sendiri (bagi yang lemah), karena berat cobaan adalah mekanisme menghebatkan diri dari Tuhan. Cinta Tuhan ada di sela-sela kaki bencana.

Sunday 20 January 2013

Banjir Jakarta


Mumpung air belum surut tak ada salah kembali bergosip tentang Jakarta. Ibu kota negara satu ini sejarah hidupnya memang merana. Banjir bandang kambuhan membuat pemerintah Hindia-Belanda bermaksud pindahkan ke Bandung, sayang resesi Eropa bikin gagal rencana. Sukarno pun ingin Jakarta hijrah ke Palangkaraya. Jakarta-jakarta, satu kota dengan beban berganda. Idealnya sebuah kota hanya miliki satu karakteristik dan fungsi satu saja: misal daerah pariwisata, industri, perdagangan, ibu kota negara/administratif, militer, agraris, pendidikan, dll. Bagaimana Jakarta? Ia ibu kota negara alias pusat administratif, perdagangan, sekaligus industri. Kota memiliki banyak fungsi tentu PAD tinggi tapi terpikir nggak bahwa beban masalah juga terlalu beragam. PAD tinggi tapi banyak masalah vs PAD sedang-sedang tapi cuma sedikit masalah, sama saja kan? Mending pilih yang masalah sedikit tentunya. 

Bencana banjir bandang Jakarta tentu dihasilkan pula oleh beragam konflik kepentingan fungsi kota. Saat Jakarta memborong semua fungsi kota seperti pusat pemerintahan dan ekonomi maka 60% kegiatan dan kekuatan ekonomi Indonesia terkumpul di Jakarta. Akhirnya bila negara lain ingin berperang dengan Indonesia tinggal melumpuhkan satu kota saja, yaitu Jakarta. Saat PDII Sekutu perlu menyerang 3 kota di Jepang (Tokyo=pusat administratif, Hiroshima=pusat industri, Nagoya=pusat pendidikan, budaya, dan peradaban). Kabut tebal berbahaya menggagalkan serangan udara Nagoya. 

Bila terjadi invasi negara lain ke Indonesia tentu hanya cukup satu tujuan yaitu Jakarta dan seluruh Indonesia lumpuh alias darurat. Negara maju dunia tidak bodoh mengumpulkan seluruh aset di satu kota: Camberra tak seramai Sidney, Washington DC tentu tak seribut NewYork, dll. Spesialisasi karakter memungkinkan kota fokus dalam blue print pembangunan, integrasi sistem hukum, sosial-cost terlokalisir dan terencana. Maka cuma ada satu solusi, pindahkan Jakarta ke lain daerah.

Wednesday 9 January 2013

Sejarah Butuh Peran Luar Biasa

Banyak orang mencibir dan menertawakan kenekatan yang dilakukan Dahlan Iskan dengan DI 19-nya. Tapi bila sejenak buka catatan sejarah otomotif maupun penerbangan yang dilakukan Dahlan menjadi sangat biasa. Penggagas otomotif dan penerbangan revolusioner selalu melibatkan kegilaan orang-orang eksentrik. Bukan orang biasa-biasa. Orang biasa-biasa itu sekedar pengekor atau minimal user-teknologi. Ingat Wright Bersaudara? Yang rela menguji coba dirinya terbangkan pesawat pertama. Ingat James Watt? penemu mobil uap pertama yang rela berkendara di antara kereta kuda. Adolf Diesel? Yang nekad bikin mesin mobil solar nan berisik. Saatnya dunia menghalalkan ruang perspektif buat pikiran berbeda. Saat sistem birokrasi dan sosial bebal dan tak merestui sebuah gagasan yang melambung melampaui jamannya diperlukan orang luar biasa. Sejarah bukan milik orang biasa-biasa. Sejarah adalah milik orang luar biasa.

Tuesday 13 November 2012

Kapital Exchange


     Malam-malem udah olahraga dorong-dorongan lalu ngacir secepat kilat lompat ke motor buat kabur. Konstruksi berpikir orang Jawa memang unik. Saat mantu (nikahin anak) biasa tetangga dan kerabat berbondong silaturahim beri selamat sekaligus menenteng tali kasih (yang dalam istilah antropologi-nya tak lebih sekedar) disebut "kapital exchange" atau pertukaran ekonomi yang bernilai sosial. Kapital exchange adalah sebagian kekayaan yang tak pernah benar dimiliki (sendiri) melainkan posisinya hanya berputar-berpindah tangan karena dipertukarkan. 
      Saat menikah orang diberi dan saat orang lain nikah gantian memberi. Kepanitiaan acara pernikahan adat Jawa selalu punya petugas pencatat sumbangan. Fungsinya? Bila A menyumbang Rp.50ribu buat pernikahan B, maka kelak B pula harus menyumbang senilai sama dalam perhelatan A (atau disesuaikan kurs nilai uang karena inflasi). Catatan sumbangan ini tak boleh hilang bahkan diwariskan ke anak cucu untuk diingat; bahkan hingga difotocopy agar bila hilang masih ada serep-nya. Jadi si Rp.50ribu ini hanya berputar-putar saja dari satu tempat ke tempat lain tanpa benar jadi milik alias setara pinjaman.
      Sampai di sini mungkin ada orang protes, lalu apa kaitan tulisan "sak gedabyah" (ungkapan menggelitik dalam bahasa Jawa untuk menyebut sesuatu yang sudah terlalu banyak) ini dengan kalimat berita di awal alenia pertama masOm???  Persoalan memang menarik ketika ada deviant (agen perubahan sosial yang dianggap aneh) melakukan tindakan tak biasa dalam komunitas. Semalam ku "njagong" (hadir di kondangan pernikahan) dimana tuan rumah sengaja tak menerima sumbangan. Ini sungguh tak biasa. Ku lihat beberapa undangan harus pulang kecewa karena amplop mereka ditolak dan dikembalikan. Untung aku berhasil baca suasana hati tuan rumah hingga memutuskan tak bawa amplop melainkan sekardus indomie berisi "sebongkah" sembako. Standar operasional menolak amplop itu sudah dipahami pejabat panitia "front office" di luar. Tapi sebongkah sembako itu persoalan lain yang harus segera dilaporkan baginda pemilik hajat. Sang baginda pun tak mampu memutus menolak tanpa menggelar rapat kabinet kilat di belakang layar. Uang adalah simbol kekuasaan yang bisa ditolak (itu perkara mudah), tapi sembako/makanan itu simbol tali cinta jadi menolaknya sama saja sebuah penghinaan. 
      Biasanya cuma ada dua standar operasional penolakan sembako/ makanan: pertama, mengganti bawaan dengan bungkus yang lain atau kedua, mengembalikan sepenuhnya (seperti semula) plus bawaan tambahan (sembako atau makanan juga). Opsi pertama biasa berhasil karena pihak penyumbang akan terkena pasal tidak boleh menolak sembako/ makan dari penilik hajat (sekalipun setelah dibuka di rumah ternyata bawaan sendiri dikembalikan). Opsi kedua biasanya kurang berhasil karena biasa orang menolak mentah-mentah barang pemberiannya dikembalikan. Tapi bungkus yang lain terpaksa harus diterima orang yang berangkat kondangan. Nah semalam, saat jelang pulang barang bawaanku dikembalikan dengan opsi kedua, maka pertempuran tolak menolak barang bawaan dengan kata dan tindakan pun terjadi sengit antar ibu-ibu. Kkkkwwkkkkk... pembaca budiman, tentu ini hanya sandiwara kultural. 
      Walau sandiwara tapi mereka harus jalani serius karena karena inilah tradisi kebudayaan. Pemilik hajat sebenarnya tahu bahwa mereka tak kan berhasil mengembalikan demikian hal orang berangkat kondangan juga ngerti bawaannya tak sungguh-sungguh akan dikembalikan. Suasana hampir seperti adu pencak silat saat mempelai pria akan dinikahkan dengan mempelai perempuan pada masyarakat Betawi. Pertempuran ibu-ibu saling menolak sumbangan biasa berakhir damai. Tapi tak jarang aneka tipu muslihat pula dimunculkan para bapak untuk memecah perhatian. Saat ibu-ibu saling dorong halus para bapak kerabat mempelai ada yang menggoda anak-anak. Saat terlena perhatikan apa yang diberikan pada anaknya, pemilik rumah segera menaruh barang ke mobil atau cantolan motor. Tapi bila segala cara mengembalikan dipandang tak berhasil tuan rumah harus rela hanya bisa mengembalikan berupa bungkusan lain (yang sedianya tambahan). Kkkkwwwkkk demikian unik konstruksi berpikir orang Jawa.