Monday 18 June 2012

Konflik Agama atau "Konflik Agama" ?



Ampunnnnn... rasanya mengikuti konflik etnis di Myanmar. Kenapa agama-pake di bawa2. Itu kan konflik etnis, wilayah, kepentingan ekonomi, dan kewarganegaraan. Muslim Myanmar bukan orang asli Myanmar melainkan eks imigran gelap Bangladesh yang mungkin juga tidak sepenuhnya muslim (baca: belum tentu mukmin=taat, sekedar punya tradisi muslim). Hal yang juga terjadi pada konflik Palestina-Istrael, Pakistan-India, Moro-pemerintah Philipina, pula konflik Thailand selatan dengan pemerintah Pusat Thailand. 




ABG Palestina yang sering diidentifikasi sebagai gerakan intifada --yang suka lempari batu tentara Istrael atau yang main2 rakit rudal panggul (baca RPG) buat diluncurkan ke perkampunga Istrael tidak seluruhnya muslim. Anak-anak usia SD-SMP ini bahagia dengan aktivitas mereka sama seperti anak-anak Jawa merangkai mercon di bulan Ramadhan. Bedanya anak-anak Jawa cuma produksi suara sementara ABG Palestina bila beruntung bisa melubangi tank Merkava Mk.4 atau M1 Abrams. Setidaknya mereka bisa membuka 6 atap rumah sekaligus dalam hitungan detik di perkampungan Istrael. Dalam kepala mereka bukan selalu memperjuangkan hak muslim semata melainkan lebih konflik wilayah. 


Konflik Pakistan pula karena tak satu etnis dengan India walau mereka hidup di atas benua sama (yang mereka sebut sebagai) Bharat Matta (belaian bunda). Pakistan dalam sejarah adalah keturunan Monghul (kurang lebih hari ini bernama Irak) yang pernah menginvasi India sebelum Masehi. Konflik internal tanah jajahan memaksa kolonial Inggris pusing dan memisahkan mereka dalam dua negara (yang bersaing). 


Konflik di Philipina selatan berakar mirip dengan Thailand selatan. Orang Moro di Philipina selatan merasa bukan bagian masyarakat Philipina (yang didominasi etnis Filipino) melainkan orang Melayu yang dideskriditkan oleh negara. Demikian halnya dengan masyarakat di Thailand selatan mereka lebih merasa sebagai etnis Melayu (bukan etnis Thai yang mayoritas dan dominan). Multikultur itu bukanlah pilihan melainkan sebuah realita budaya dalam hidup. Pilihan sesungguhnya adalah mau hidup damai bersama atau terus konflik yang berujung kontraproduktif bagi kesejahteraan. 


Simplifikasi seringkali dilakukan orang dari luar wilayah konflik. Agama sering menjadi tautan emosional empati dalam penilaian politis konflik. Kondisi ini yang bikin sebuah konflik mudah meluas bahkan melaju untuk tujuan berbeda. Pada sisi lain agama pula sering digunakan sebagai komoditas penggalang solidaritas (mempersatukan komunitas) dalam belaian Sang Adikodrati yang abstrak tanpa cela. Persoalannya adalah apakah tokoh2 "penganjur" solidaritas agama untuk konflik adalah tanpa cela? Sekali lagi Sang Adi Kodrati boleh tanpa cela tapi demikian kah dengan para penyembah tottem Sang Adikodrati-nya? Para operator dan konsumen solidaritas agama (yang masih berwujud manusia itu) bukanlah tokoh yang bebas dari kepentingan politik. 




Tuesday 12 June 2012

Bangsa Maju tak Harus Kaya Sumber Daya

Satu proposal penelitian dah jadi.... ah senengnya puas bisa terkirim. Bisa kembali nikmati suguhan acara NHK Jepang kemaren tercampakkan. Sebuah stasiun televisi pemerintah Jepang yang menurutku jago bener bikin liputan budaya memukau. Sore ini giliran seni lukis telur. Salah satu tokoh yang diangkat bernama Ohara. Bangsa maju memang tak mesti kaya apalagi harus berlimpah sumber daya. Menurutku bangsa maju adalah ketika masyarakatnya ikhlas menekuni pekerjaan dan hobby masing-masing kemudian membiarkan orang lain riang menikmatinya.

Friday 8 June 2012

Salah Tak Rasa Salah


Jalanan makin tak aman. Semalam ada motor tanpa lampu ngelintas kenceng bener ampe hampir nubruk. Bila jumpa satu motor itu masih bisa dibilang kebetulan tapi ini berkali. Begitu pula malam-malam sebelum ini. Kayanya apa emang life style hari ini kale. Anak muda suka sebut free-style buat tindakan "postmodernisme" berkendara motor alias acak2an. Kadang heran juga motor-motor baru tapi masa lampu putus? Lampu aus korban peraturan lampu harus nyala siang atau emang nggak dinyalain? Klo emang life style ya mati dah.... rontok sistem budaya adiluhung yang pernah kita punya. Saat ku kecil orang mengendara motor tanpa lampu masih tahu diri dengan jalan pelan. Mereka justru ngerasa bersalah. Sayang Hari ini seolah rasa itu udah lenyap: udah salah pakai motor lampu mati justru jalan kenceng lagi. 
Btw soal rasa bersalah telah lenyap hari ini..... seperti ada kaitan dengan konsep jagat gede-jagat cilik (dunia kecil-dunia besar) yach....... Perilaku jalanan adalah jagat cilik sementara apa yang dicontohkan para pesohor pengampu negeri adalah jagat gede-nya. Pejabat atau artis berbuat mesum gak mau ngaku atau sekedar mundur menghilang dari publik justru semakin menantang pembuktian media dan masyarakat. Pula demikian pejabat tersangka skandal korupsi tetap bertahan opininya sampai kondisi bener2 tak mampu lagi dikendalikannya. Mereka demikian gagah dalam jumpa pers dengan media dengan lambaian senyum bak selebriti atau tantangan garang dengan deret advokat dan bodyguard yang disewa. Bahkan dibalik terali pun masih lantang berkukuh diri sebagai korban konspirasi. 
Sungguh PR yang terlalu berat buat perbaikan budaya bangsa yang sudah terlanjur runtuh ini. Itu pun bila ada yang masih peduli mau dan ingin memperbaiki. Bagaimana kasus Century? Ah siapa peduli... apalagi fenomena kekacauan budaya semacam ini. Semoga bangsa ini tidak terlanjur terbiasa dengan segala sesuatu yang tak pernah selesai.

Thursday 7 June 2012

WAGs


         Di Indonesia ada persatuan istri PNS dan PNS perempuan bertajuk Dharma Wanita. Ternyata di dunia sepak bola Inggris juga ada nama WAGs. Anggotanya tentu para istri dan pacar pemain bola. Menurut Wikipedia istilah WAGs mulai populer tahun 2002 dan nuansanya memang rada miring juga kkkkwwwkkk.... Kata Wikipedia, "It was never guaranteed that the wives and girlfriends (or "the Wags", as staff at the Jumeirah Beach Club call them for short) would get along. Mrs Beckham's tongue, for one thing, has previously run away with itself. Maksudnya ya jangan nagis kalau tak seberuntung istri Beckham alias dicerai atau diputusin, maklumlah jadi kekasih selebriti berduit= nasib serasa selalu diujung tanduk.
     Berita terbaru WAGs terkait EURO 2012 adalah mereka berniat patungan sewa pesawat jet mahal buat saksikan para kekasih mereka berlaga di Polandia dan Ukraina. Sederhana karena mereka bisa pulang kapanpun tanpa jadwal penerbangan reguler. Mereka juga tak berminat menginap karena masyarakat dua negara Eropa itu terkenal tak ramah bahkan rawan rasisme terutama buat kulit hitam. Pebola kulit hitam Inggris pun tercatat sudah layangkan ijin tak ikut kompetisi di dua negara ini karena takut pulang dalam peti mati. 
     He...he... fokus cerita ini sebenernya bukan membidik kasus rasial tapi si WAGs ini sendiri. Agaknya fenomena WAGs akan segera booming di tanah air itu berkaca pada prestasi olah raga basket tanah air yang kurang membanggakan tapi justru cheerleader yang lebih mengemuka, olahraga bola yang tak kunjung membumbung prestasinya melainkan komentator, cafe nonton bareng, sinetron khayal bola macam si Madun, club seporter dan boneknya. 

Mari tersenyum untuk perubahan lebih baik.

Tuesday 5 June 2012

Republik Negosiasi


Cari semangka di deret kios buah depan pasar raya Salatiga. Saat nawar rada kaget karena dapat protes lirih, "Kok ditawar Yah...?" Ya iya musti ditawar kalau beli di sini. "Kalau di toko?" Kalau di toko ya jangan, kagak boleh. "Lho kemaren ayah beli di toko kok ditawar yooo..." (aduh medhok Salatiga banget). Di mana di tawar tanyaku. "Itu di toko listrik itu." Tangan mungil menunjuk toko Gloria di sebelah. Waduh mati gimana jelasinnya, kacau dah definisiku tadi. Sambil jalan pulang aku coba jelasin sebisa aku terserah dia ngerti atau tidak. Kata orang-orang tua anak2 menyimpan informasi yang di dapatnya sekalipun tak mengerti untuk dibongkar (dianalisis) lain hari ketika ia mendapat pasangan variabel yang dibutuhkan untuk mencerna. Anakku, masyarakat Indonesia tidak mengenal harga fix dalam jual beli kata Geertz. Mereka lebih menyukai harga luncur yang dihasilkan dari tawar menawar. Mungkin "kepuasan" itu budaya juga bukan sekedar psikologis. Penjual memilih bersibuk ria  bertaruh harga dalam permainan tawar-menawar dengan harapan untung yang lebih tinggi. Kepiawaian mempertahankan harga dan menawar menjadi kebanggaan tersendiri dalam masyarakat. Meninggalkan penjuan dengan barangnya tanpa menawar menimbulkan galau tersendiri bagi pedagang sebaliknya barang tak boleh ditawar juga buru-buru akan ditinggal atau dicap mahal oleh pembeli. 
Budaya tawar-menawar berkembang jadi karakter penyakit manakala saling tipu menipu sebelum arena tawar menawar dibuka. "Nawar kok seperempatnya, nawar itu setengahnya malah kurang dari setengahnya terus naik...naik... gitu," demikian nasehat nenekku dulu. Jadi orang sudah menaikkan sekian kali lipat agar bila ditawar seminimal mungkin juga masih untung berlipat. Di sisi lain pembeli pun sudah tak asing lagi bahwa  kebiasaan itu biasa dilakukan pedagang. Boleh dibilang sama-sama tahu. akhirnya tinggal budaya kepuasan saja dalam lingkaran permainan tawar-menawar. Dipandang dari sudut pandang lain sesungguhnya ini kontraproduktif. Berapa waktu terbuang dan  tersita buat tawar menawar? Bukankah untung sedikit tapi cepat dan pasti memungkinkan segera memutar modal berganti koleksi. Bukankan Segera menuntaskan pembelian lebih produktif waktu bisa digunakan kerja lagi. Tapi masyarakat ini tentu menolak mentah-mentah pikiran logis ini. "Itulah seni-nya jual beli," kata seorang temen yang makelar mobil.    
Kebiasaan tawar menawar membawa kebudayaan ke dalam proses pembusukan manakala tradisi tawar menawar ini mulai bermain mata dengan budaya menerabas. Kena tilang polisi tawar menawar, DPR mau putuskan sebuah produk hukum tawar menawar proyek, penegakan hukum narkoba Corby tawar menawar dengan Australia. Tidak ada sesuatu yang pasti akhirnya berkembang di Republik ini bahkan hingga masalah hukum, keadilan, dan kesejahteraan. Republik Negosiasi mungkin pas untuk disematkan. Pancasila dan UUD45 sebagai produk hukum tertinggi negara mengatur bahwa semua agama berkedudukan sama namun untuk melakukan misa saja harus dikejar-kejar, sudah tiba di tepi jalan masih digusur pula sampai entah kapan negosiasi berakhir. Apapun yang terjadi negara ini harus tetap kita cintai anakku.... ternyata kamu sudah tidur.

Refleksi Hari Kebangkitan Bangsa


Seharian terjebak dingin AC ruangan dalam Seminar Nasional Membangun Karakter Bangsa melalui Pemantapan Kebudayaan Nasional dan Kesadaran Historis di UNDIP Semarang. Sayang pembicara dan tema kurang menggigit. Perspektif panitia juga masih rancu antara kebudayaan dengan kesenian (sementara kesenian hanya bagian kecil dari kebudayaan yang menyuguhkan adiluhung dan keindahan). Tidak ada hal baru tapi menginspirasi. Keyword menarik adalah "amnesia historis" dan "Java en biten gewsten". Tema yang hampir mirip hampir ku sampaikan dalam seminar kebangkitan bangsa beberapa minggu lalu sayang kecocokan tanggal pelaksanaan tak tercapai. 
Bangsa Indonesia lupa bahwa mereka adalah plural dan multikultur yang terjajah di masa lalu karena terpecah belah demi kepentingan lokal sesaat. Kapitalisme dan kolonialisme telah menjadi musuh bersama hingga menyatukan paksi-paksi kelompok kultur berbeda dalam imagine nation bernama Indonesia. Problem muncul ketika hegemoni negara (pusat) melemah dan orientasi tantangan berubah. Pada masa lalu Indonesia disatukan oleh mitos nasib yang sama sementara bangsa hari ini disuguhi realitas nasib yang berbeda. Ketimpangan terjadi dalam kerangka pusat-daerah, Java en biten gewsten (alias Jawa dan luar Jawa), partai, status sosial, dll. Uang yang berputar tertahan di Jawa sementara di Jawa sendiri lebih terkonsentrasi di Jakarta, padahal di Jakarta juga cuma mengganjal di kantong2 segelintir tokoh. Pembangunan tersetrata menurut terminologi ini. Belum lagi hak/kwajiban atas hukum yang berbeda di masyarakat (ambil contoh kecil lihat perilaku berlalulintas Harley Davidson di daerah). Sadar nggak sih aneka ketimpangan2 mengakses hak/kwajiban kemanusiaan suburkan komunisme, fundamentalisme, premanisme, anarkisme dan kriminalitas? Sparatisme kedaerahan, nepotisme, dan agama-isme akhirnya menjadi benteng terakhir bagi "pengamanan aset pribadi" oleh masyarakat. Masyarakat tumbuh jadi pribadi individualis, praktis (penerabas/jalan pintas asal selamat), gemar pungli (pungutan liar), dan eksklusif. 
Bila tak boleh disebut negara gagal yaa bangsa ini yang gagal memupuk nasionalisme. Bangsa ini minim produktifitas dan prestasi yang mampu membanggakan warganya sebagai bangsa Indonesia. Akibatnya mereka mencari kebanggaan dalan kesukuan, kelompok sosial, dan agama sentris. Jangan lupa bahwa suburnya geng motor, remaja pengelana (menggelandang) bergaya punk dijalan, secooter bodol (bahasa Makasar: tapo-tapo), aksi graffity, terorisme, perkelahian pelajar, bonek, kerusuhan, dan aneka masalah sosial serupa adalah sekedar dampak. So... apakah kita hanya akan menunggu semetara anak2 kita hidup dalam alam carut marut ini untuk mendewasa? Bangsa ini harus sibuk pikiran dan fisiknya dalam skala nasional. Cuma ada dua pilihan, tunggu pemimpin hebat yang belum tentu datang tepat waktu atau mari berbuat sekalipun dalam skala mini.

Perguruan Tinggi Perlu Tumbuhkan Jiwa Enterpreneur


Bulan-bulan begini tiap kampus tentu tengah berkonsentrasi bagaimana mendapatkan sebanyak mungkin mahasiswa baru. Peta persebaran alumni digelar, data sekolah potensial penyumbang mahasiswa kembali dibuka-buka, serta grafik pertumbuhan populasi mahasiswa baru dari tahun ke tahun kembali dianalisa sebagai patokan tahun ini harus meningkat. Tapi jauh di hati kecil kadang tersirat berapakah angka alumni yang masih menganggur? Data kualitatif alumni berhasil sudah sering diulas tapi data alumni menganggur? Adakah yang peduli? 
Saat bertemu rekan sejawat iseng aku tanya berapa jumlah mahasiswa baru, populasi prodi serta jurusan biasa jadi obrolan pembuka. Tapi berapa alumni yang menganggur boleh jadi sampai obrolan selesai pun tak tersentuh. Umumnya mahasiswa baru berbondong kuliah membawa bayangan kelak terpasang formasi formal negara atau setidaknya posisi formal lembaga swasta sementara tak terbesit sektor informal bahkan non formal bakal harus siap digelutinya nanti. Mahasiswa harus disiapkan dengan format khusus bukan sekedar menunggu panggilan formasi PNS melainkan pula siap mengisi formasi NGO/LSM dan lembaga pemberdayaan masyarakat lainnya bahkan menjadi enterpreneur.
Jenjang ini diperlukan penyiapan mental spiritual yang tak bisa main-main. Pada tataran brosur sosialisasi saja kita masih sekedar menawarkan peluang kerja aras formal negara. Program studi ini akan mencetak mahasiswa menjadi tenaga ahli di bidang keguruan, hakim, panitera, dll. Kalau mau jujur berapa sih peluang mendapatkan posisi itu? Zero growth adalah persoalan lain juga. Kalaupun menawarkan impian masa depan adalah sebuah "bantuan" agaknya tak perlu tanggung membantu untuk sekalian membuka cakrawala dunia-dunia pekerjaan baru yang dapat digeluti alumni. 
Sepuluh tahun silam mungkin orang tak terpikir bahwa membuat program internet silaturahmi macam Face Book bisa menjadi milyader. Sepuluh tahun lalu tak terpikir orang bahwa menasehati orang (non pengajian) bisa seperti Mario Teguh. Sepuluh tahun lalu orang nggak terpikir bahwa production house bukan hanya menghasilkan acara TV melainkan mampu membangun jaringan kerja sosial sambil memutar roda kapitalisme nasional semacam Kick Andi. Jangan biarkan alumni mengandalkan otodidak dalam hal ini, kampus harus bertanggungjawab atas produknya. Ketika Arif Budiman terlunta di pecat institusi kerja almamater menariknya untuk bekerja, ketika Habibie tersungkur oleh petualang politik di negerinya almamater menyerapnya kembali semata produk jangan sampai tersia-sia. Sudahkah kampus berpikir demikian. Bila tak mampu serap lagi setidaknya mampu membuka impian yang lebih luas bukan sekedar mimpi jadi PNS.