Ampunnnnn... rasanya mengikuti konflik etnis di Myanmar. Kenapa agama-pake di bawa2. Itu kan konflik etnis, wilayah, kepentingan ekonomi, dan kewarganegaraan. Muslim Myanmar bukan orang asli Myanmar melainkan eks imigran gelap Bangladesh yang mungkin juga tidak sepenuhnya muslim (baca: belum tentu mukmin=taat, sekedar punya tradisi muslim). Hal yang juga terjadi pada konflik Palestina-Istrael, Pakistan-India, Moro-pemerintah Philipina, pula konflik Thailand selatan dengan pemerintah Pusat Thailand.
ABG Palestina yang sering diidentifikasi sebagai gerakan intifada --yang suka lempari batu tentara Istrael atau yang main2 rakit rudal panggul (baca RPG) buat diluncurkan ke perkampunga Istrael tidak seluruhnya muslim. Anak-anak usia SD-SMP ini bahagia dengan aktivitas mereka sama seperti anak-anak Jawa merangkai mercon di bulan Ramadhan. Bedanya anak-anak Jawa cuma produksi suara sementara ABG Palestina bila beruntung bisa melubangi tank Merkava Mk.4 atau M1 Abrams. Setidaknya mereka bisa membuka 6 atap rumah sekaligus dalam hitungan detik di perkampungan Istrael. Dalam kepala mereka bukan selalu memperjuangkan hak muslim semata melainkan lebih konflik wilayah.
Konflik Pakistan pula karena tak satu etnis dengan India walau mereka hidup di atas benua sama (yang mereka sebut sebagai) Bharat Matta (belaian bunda). Pakistan dalam sejarah adalah keturunan Monghul (kurang lebih hari ini bernama Irak) yang pernah menginvasi India sebelum Masehi. Konflik internal tanah jajahan memaksa kolonial Inggris pusing dan memisahkan mereka dalam dua negara (yang bersaing).
Konflik di Philipina selatan berakar mirip dengan Thailand selatan. Orang Moro di Philipina selatan merasa bukan bagian masyarakat Philipina (yang didominasi etnis Filipino) melainkan orang Melayu yang dideskriditkan oleh negara. Demikian halnya dengan masyarakat di Thailand selatan mereka lebih merasa sebagai etnis Melayu (bukan etnis Thai yang mayoritas dan dominan). Multikultur itu bukanlah pilihan melainkan sebuah realita budaya dalam hidup. Pilihan sesungguhnya adalah mau hidup damai bersama atau terus konflik yang berujung kontraproduktif bagi kesejahteraan.
Simplifikasi seringkali dilakukan orang dari luar wilayah konflik. Agama sering menjadi tautan emosional empati dalam penilaian politis konflik. Kondisi ini yang bikin sebuah konflik mudah meluas bahkan melaju untuk tujuan berbeda. Pada sisi lain agama pula sering digunakan sebagai komoditas penggalang solidaritas (mempersatukan komunitas) dalam belaian Sang Adikodrati yang abstrak tanpa cela. Persoalannya adalah apakah tokoh2 "penganjur" solidaritas agama untuk konflik adalah tanpa cela? Sekali lagi Sang Adi Kodrati boleh tanpa cela tapi demikian kah dengan para penyembah tottem Sang Adikodrati-nya? Para operator dan konsumen solidaritas agama (yang masih berwujud manusia itu) bukanlah tokoh yang bebas dari kepentingan politik.