Ngelihat suami-istri usia senja sekitar 70-an tahun berjalan lenggang gemetar bersama berbalut pakaian-training. Senyum dan bergandeng tangan, cerianya mereka menyambut mentari pagi. Ah ingatan jadi terlempar dua hari lalu. Silaturahmi ke rumah tetangga lama sekaligus guru les matematika jaman SMP. Waktu itu beliau sudah pensiun pula jadi nggak kebayang kan bagaimana kondisi saat ini. Masih sehat tapi sehatnya orang tua bagaimana sih bisa kebayang. Ya walau sudah diles tetap aja aku bodoh matematika mungkin karena lebih banyak diajak ngobrol tentang hidup dan kehidupan daripada materi les. Ha..ha.. bingung juga kenapa saat itu aku juga bisa nyambung ngobrolnya ya. Tapi setelah kematian istrinya 2 tahun beliau jadi lebih renta. Dua anaknya yang telah persembahkan cucu manis-manis (tampaknya) makin kebingungan dari-hari ke hari menyikapi orang tua mereka. Orang tua ini jadi sering melow, sedih, bingung, melamun dan kadang uring-uringan sendiri tak tahu apa yang diingin. Lebaran kemaren anaknya berkabar via telepon dan mengabarkan bahwa lalu namaku sering disebut-sebut dalam perbendaharaan kosa kata harian. Aduh jadi nggak enak juga apa hubungan aku dengan semuanya?
Sayang waktu sulit berluang untuk silaturahmi untung kemarin sempat. Ngobrol dari A ampe Z kalau merek mobil korea mah Hyunday "AtoZ" (A to Z= dari A ampe Z). Cerita mulai dari nakal saat kanak-kanak, iseng remaja, ketemu jodoh, pacaran bersepeda, menikah, ampe keluar anak-cucu, dan endingnya ditinggal mati istri 2 tahun lalu. Haduh... kalau dia BJ. Habibie pasti ditulis bukunya laku. baru tahu juga ternyata saat menikah ia laki-laki lajang lulusan SPG dan guru bantu, sementara istrinya dan istri pernah bercerai dengan tentara berpangkat tinggi. Mereka berpisah karena perselisihan keluarga besar bukan masalah internal. Ukuran sukses saat itu adalah sepeda ontel khas oemar bakre dan motor. Si tentara sudah bermotor dan rumah dinas sementara mas Guru satu ini masih bersepeda onta yang rantai dan pedal copot melulu. Belum lagi ban roda yang sering gembos disumpal dengan ban bekas biar tak usah repot mompa lagi. De..el..el (aduh kalau dicerita lagi bisa aku memindah perjamuan saat itu ke hari ini di FB. Bisa pada ketiduran orang baca kisah ini).
Nah dari cerita bingkai berbingkai ini jadi ketemu kenapa mendadak beliau bergaya layaknya anak ABG lagi sepeninggal istri. Rupanya beliau cemburu pada istrinya. Baru tahu bila eks guru negeri teladan ini pencemburu berat. Tapi bukankah saat ini istri sudah meninggal apalagi yang musti dicemburui? Sederhana masalahnya, beliau cemburu pada malaikat-malaikat tampan yang bakal mengunjungi sang istri di surga nanti seperti dalam kisah kitab suci. Aduh rada pusing juga kalau begini urusan. Seandainya beliau pernah belajar hermeneutika tentu akan mudah meraba barangkali tokoh malaikat cantik dan tampan sekedar personifikasi aneka kebahagiaan tak terkira di surga (bukan selalu fisik manusia menawan). Jadi tak mungkin berhermeneutika-ria dengan beliau. Lalu aku bilang bahwa bukankan bila kita manusia baik pula yang layak hidup di surga bisa menemui orang tersayang kelak, "Panjenengan bisa berkumpul lagi dengan ibu kelak di surga" (kata "panjenengan" adalah bahas Jawa halus untuk menyebut seseorang terhormat. Di tual dugaan jawab beliau,"Itu masalahnya, apa dayaku, aku tentu kalah hebat segalanya dibanding dengan malaikat-malaikat itu. Dia bahkan mungkin juga tak kan ingat aku lagi. Akan banyak malaikat tampan muda di sekelilingnya!" Waduh susah juga ya sama-sama belum pernah lihat surga lalu aku berandai-andai bagaimana dengan bidadari-bidadari muda dan cantik? Di luar dugaan beliau menjawab,"Aku cuma ingin dia bukan yang lain." Jrengggg...... sayang waktu ucapan itu tiada musik pengiring seperti di sinetron atau operet. Rupanya pengalaman minder selama hidup beliau diterapkan untuk memproyeksi kehidupan surga. Ya barang tentu strees.
Bla..bla..bla.. ending cerita jelang pulang anak-anak beliau bertanya, "Bapak kenapa?" Aku cuma bisa jawab beliau cemburu sama para malaikat di surga dan memilih sisa hidupnya akan tersita buat berdoa semoga istrinya akan ingat dia kelak. Aku cuma sarankan ke anaknya supaya sering luangkan waktu buat menemani dan bikin cerita (walau cuma ngarang demi kebaikan). Bikin cerita seolah sang istri sering memuji beliau di depan anak-anak saat masih hidup, bikin ia yakin, cuma itu yang bisa besarkan jiwanya. Bila energi hidup perempuan adalah "semangat pengabdian", sementara energi hidup laki-laki adalah "keyakinannya", jadi masing-masing akan mati atau "mati" tanpa itu.
Semoga beliau dikarunia usia panjang yang maanfaat dan khusnulkhotimah bila suatu saat berpulang.