Saturday 29 September 2012

Cemburu Manula


Ngelihat suami-istri usia senja sekitar 70-an tahun berjalan lenggang gemetar bersama berbalut pakaian-training. Senyum dan bergandeng tangan, cerianya mereka menyambut mentari pagi. Ah ingatan jadi terlempar dua hari lalu. Silaturahmi ke rumah tetangga lama sekaligus guru les matematika jaman SMP. Waktu itu beliau sudah pensiun pula jadi nggak kebayang kan bagaimana kondisi saat ini. Masih sehat tapi sehatnya orang tua bagaimana sih bisa kebayang. Ya walau sudah diles tetap aja aku bodoh matematika mungkin karena lebih banyak diajak ngobrol tentang hidup dan kehidupan daripada materi les. Ha..ha.. bingung juga kenapa saat itu aku juga bisa nyambung ngobrolnya ya. Tapi setelah kematian istrinya 2 tahun beliau jadi lebih renta. Dua anaknya yang telah persembahkan cucu manis-manis (tampaknya) makin kebingungan dari-hari ke hari menyikapi orang tua mereka. Orang tua ini jadi sering melow, sedih, bingung, melamun dan kadang uring-uringan sendiri tak tahu apa yang diingin. Lebaran kemaren anaknya berkabar via telepon dan mengabarkan bahwa lalu namaku sering disebut-sebut dalam perbendaharaan kosa kata harian. Aduh jadi nggak enak juga apa hubungan aku dengan semuanya? 

Sayang waktu sulit berluang untuk silaturahmi untung kemarin sempat. Ngobrol dari A ampe Z kalau merek mobil korea mah Hyunday "AtoZ" (A to Z= dari A ampe Z). Cerita mulai dari nakal saat kanak-kanak, iseng remaja, ketemu jodoh, pacaran bersepeda, menikah, ampe keluar anak-cucu, dan endingnya ditinggal mati istri 2 tahun lalu. Haduh... kalau dia BJ. Habibie pasti ditulis bukunya laku. baru tahu juga ternyata saat menikah ia laki-laki lajang lulusan SPG dan guru bantu, sementara istrinya dan istri pernah bercerai dengan tentara berpangkat tinggi. Mereka berpisah karena perselisihan keluarga besar bukan masalah internal. Ukuran sukses saat itu adalah sepeda ontel khas oemar bakre dan motor. Si tentara sudah bermotor dan rumah dinas sementara mas Guru satu ini masih bersepeda onta yang rantai dan pedal copot melulu. Belum lagi ban roda yang sering gembos disumpal dengan ban bekas biar tak usah repot mompa lagi. De..el..el (aduh kalau dicerita lagi bisa aku memindah perjamuan saat itu ke hari ini di FB. Bisa pada ketiduran orang baca kisah ini).

Nah dari cerita bingkai berbingkai ini jadi ketemu kenapa mendadak beliau bergaya layaknya anak ABG lagi sepeninggal istri. Rupanya beliau cemburu pada istrinya. Baru tahu bila eks guru negeri teladan ini pencemburu berat. Tapi bukankah saat ini istri sudah meninggal apalagi yang musti dicemburui? Sederhana masalahnya, beliau cemburu pada malaikat-malaikat tampan yang bakal mengunjungi sang istri di surga nanti seperti dalam kisah kitab suci. Aduh rada pusing juga kalau begini urusan. Seandainya beliau pernah belajar hermeneutika tentu akan mudah meraba barangkali tokoh malaikat cantik dan tampan sekedar personifikasi aneka kebahagiaan tak terkira di surga (bukan selalu fisik manusia menawan). Jadi tak mungkin berhermeneutika-ria dengan beliau. Lalu aku bilang bahwa bukankan bila kita manusia baik pula yang layak hidup di surga bisa menemui orang tersayang kelak, "Panjenengan bisa berkumpul lagi dengan ibu kelak di surga" (kata "panjenengan" adalah bahas Jawa halus untuk menyebut seseorang terhormat. Di tual dugaan jawab beliau,"Itu masalahnya, apa dayaku, aku tentu kalah hebat segalanya dibanding dengan malaikat-malaikat itu. Dia bahkan mungkin juga tak kan ingat aku lagi. Akan banyak malaikat tampan muda di sekelilingnya!" Waduh susah juga ya sama-sama belum pernah lihat surga lalu aku berandai-andai bagaimana dengan bidadari-bidadari muda dan cantik? Di luar dugaan beliau menjawab,"Aku cuma ingin dia bukan yang lain." Jrengggg...... sayang waktu ucapan itu tiada musik pengiring seperti di sinetron atau operet. Rupanya pengalaman minder selama hidup beliau diterapkan untuk memproyeksi kehidupan surga. Ya barang tentu strees. 

Bla..bla..bla.. ending cerita jelang pulang anak-anak beliau bertanya, "Bapak kenapa?" Aku cuma bisa jawab beliau cemburu sama para malaikat di surga dan memilih sisa hidupnya akan tersita buat berdoa semoga istrinya akan ingat dia kelak. Aku cuma sarankan ke anaknya supaya sering luangkan waktu buat menemani dan bikin cerita (walau cuma ngarang demi kebaikan). Bikin cerita seolah sang istri sering memuji beliau di depan anak-anak saat masih hidup, bikin ia yakin, cuma itu yang bisa besarkan jiwanya. Bila energi hidup perempuan adalah "semangat pengabdian", sementara energi hidup laki-laki adalah "keyakinannya", jadi masing-masing akan mati atau "mati" tanpa itu. 

Semoga beliau dikarunia usia panjang yang maanfaat dan khusnulkhotimah bila suatu saat berpulang.

Monday 3 September 2012

Too Much Love Will Kill You


"Too Much Love Will Kill You...." begitulah potongan lirik yang dilantun Freddie Mercury saat kejayaan Queen sekitar tahun 1988-an. Beruntung siang ini aku bisa menikmatinya lagi dari siaran radio streaming online sambil santai. Ah ingatanku jadi terlempar pada keluhan teman beberapa waktu lalu. Tampaknya ia gamang melepas anak hidup bersentuhan dengan kehidupan nyata (baca: sesungguhnya). Ia sela
lu ajari anak laki-lakinya yang menginjak SMA bahwa kehidupan di luar rumah demikian ganas. Kalimat yang selalu meluncur dalam nasihat andalannya adalah, "...kamu memang sudah besar tapi kamu belum tahu apa-apa tentang kehidupan ini, kehidupan ini begitu luas, ganas dan masih banyak yang belum kau tahu." 

Suatu saat nasihat ini jadi senjata makan tuan ketika anak harus pulang ke pesantren sementara orang tua tak bisa antar karena tertawan pekerjaan. "Bagaimana ini?" Anakmu sudah mampu berangkat sendiri tanpamu kataku. "Sembarangan, anakku ini laen, dia khusus bagiku, dia beda dengan anak laen (baca: anak orang lain) kasihan dia bla...bla... bla..." "Too Much Love Will Kill You...." tiba-tiba syair itu terngiang dalam kepalaku. Wahai orang tua, siapa sih yang nggak sayang sama anak? Semua orang tua berpikir sama seperti itu. Walau anak tak ada (maaf) cacat, tiap orang tua selalu merasa anaknya khusus, lain dari yang lain, kasihan, dll. (disadari atau tidak). Tapi sayang/cinta itu tak harus bikin kita memasung anak dalam sangkar emas berlapis peredam benturan selembut manisan marshmallow (saking takut anak cidera anak). Ha...ha..ha.. anak juga butuh berkembang seperti kebanyakan anak seusianya. Sangkar marshmallow mungkin tak ciderai fisiknya tapi bagaimana dengan perkembangan jiwanya?

Banyak anak tak mampu bersepeda karena orang tua takut anak cidera jatuh. Banyak anak tak mampu bersosialisasi dengan orang lain (misal orang kampung/ miskin/ tua/ asing/ lawan jenis/ dll) --orang yang berbeda status dengan dirinya karena orang tua batasi pergaulannya demi "keselamatan" atau "jangan sampai terjadi apa-apa." Ada pula orang tua yang memilih pendidikan home schooling untuk anak agar terhindar dari dampak negatif pergaulan remaja lain. Ada orang tua yang tak ijinkan anak main dengan beda agama, beda suku bangsa, beda kasta, dll. Terbayang nggak kerugian seumur hidup apa yang bakal diderita anak demi "jangan sampai terjadi apa-apa" itu?

"Too Much Love Will Kill You...." Orang boleh beda pendapat dengan tulisan ini tapi saran yang patut dicoba adalah: IJINKAN ANAK KITA BERKEMBANG SEPERTI UMUMNYA ANAK SEUSIANYA. Dunia kita sekarang sudah lain, kejahatan di mana-mana, penyakit merajalela, kondisi lalulintas makin mengkhawatirkan, bla...bla...bla.. Itu yang sering dkemuka orang tua tapi sejak kecil aku pun sudah mendengar itu dari gosip ibu-ibu antar pagar rumah. Artinya apa? Ya semua kekhawatiran dan yang dikhawatirkan itu sudah ada sejak dulu. Bahwa kondisi sekarang makin parah? Ah tiap generasi telah dipersiapkan Tuhan untuk menghadapi era-nya. Saat remaja aku bangga mampu menggeber motor 70cc aku hingga mentok, saat itu ayahku bilang separoh gas aja sudah kabur pandangan (wajar saat ayahku remaja cuma punya sepeda dan motor kumbang). Tapi saat ini aku tak lagi mampu begitu karena motor sekarang 125cc ke atas, separoh gas aja aku tak mampu lihat jalan dengan jelas. 

"Too Much Love Will Kill You...." Lalu apa yang dibutuhkan? Nasihat dan arahan konstruktif, dialog antar generasi (saling sadari gap perspektif ), pendidikan positif, religiusitas, dan tiuplah doa selalu. Selanjutnya biarlah Tuhan bekerja dan ijinkan anak menempuh ujian akhir untuk tiap nasihat yang sudah dibekalkan orang tua. Tiap butir nasihat adalah teori maka ijinkan anak mengujinya di laboraturium raksasa Tuhan dan tugas orang tua untuk mendapinginya. Tak mungkin orang belajar sepeda tanpa jatuh dan tugas orang tua tolong ia saat jatuh. Cinta itu bukan mengurung-memenjarakan, cinta sejati itu membebaskan dari ketidakberdayaan.