Tuesday 13 November 2012

Kapital Exchange


     Malam-malem udah olahraga dorong-dorongan lalu ngacir secepat kilat lompat ke motor buat kabur. Konstruksi berpikir orang Jawa memang unik. Saat mantu (nikahin anak) biasa tetangga dan kerabat berbondong silaturahim beri selamat sekaligus menenteng tali kasih (yang dalam istilah antropologi-nya tak lebih sekedar) disebut "kapital exchange" atau pertukaran ekonomi yang bernilai sosial. Kapital exchange adalah sebagian kekayaan yang tak pernah benar dimiliki (sendiri) melainkan posisinya hanya berputar-berpindah tangan karena dipertukarkan. 
      Saat menikah orang diberi dan saat orang lain nikah gantian memberi. Kepanitiaan acara pernikahan adat Jawa selalu punya petugas pencatat sumbangan. Fungsinya? Bila A menyumbang Rp.50ribu buat pernikahan B, maka kelak B pula harus menyumbang senilai sama dalam perhelatan A (atau disesuaikan kurs nilai uang karena inflasi). Catatan sumbangan ini tak boleh hilang bahkan diwariskan ke anak cucu untuk diingat; bahkan hingga difotocopy agar bila hilang masih ada serep-nya. Jadi si Rp.50ribu ini hanya berputar-putar saja dari satu tempat ke tempat lain tanpa benar jadi milik alias setara pinjaman.
      Sampai di sini mungkin ada orang protes, lalu apa kaitan tulisan "sak gedabyah" (ungkapan menggelitik dalam bahasa Jawa untuk menyebut sesuatu yang sudah terlalu banyak) ini dengan kalimat berita di awal alenia pertama masOm???  Persoalan memang menarik ketika ada deviant (agen perubahan sosial yang dianggap aneh) melakukan tindakan tak biasa dalam komunitas. Semalam ku "njagong" (hadir di kondangan pernikahan) dimana tuan rumah sengaja tak menerima sumbangan. Ini sungguh tak biasa. Ku lihat beberapa undangan harus pulang kecewa karena amplop mereka ditolak dan dikembalikan. Untung aku berhasil baca suasana hati tuan rumah hingga memutuskan tak bawa amplop melainkan sekardus indomie berisi "sebongkah" sembako. Standar operasional menolak amplop itu sudah dipahami pejabat panitia "front office" di luar. Tapi sebongkah sembako itu persoalan lain yang harus segera dilaporkan baginda pemilik hajat. Sang baginda pun tak mampu memutus menolak tanpa menggelar rapat kabinet kilat di belakang layar. Uang adalah simbol kekuasaan yang bisa ditolak (itu perkara mudah), tapi sembako/makanan itu simbol tali cinta jadi menolaknya sama saja sebuah penghinaan. 
      Biasanya cuma ada dua standar operasional penolakan sembako/ makanan: pertama, mengganti bawaan dengan bungkus yang lain atau kedua, mengembalikan sepenuhnya (seperti semula) plus bawaan tambahan (sembako atau makanan juga). Opsi pertama biasa berhasil karena pihak penyumbang akan terkena pasal tidak boleh menolak sembako/ makan dari penilik hajat (sekalipun setelah dibuka di rumah ternyata bawaan sendiri dikembalikan). Opsi kedua biasanya kurang berhasil karena biasa orang menolak mentah-mentah barang pemberiannya dikembalikan. Tapi bungkus yang lain terpaksa harus diterima orang yang berangkat kondangan. Nah semalam, saat jelang pulang barang bawaanku dikembalikan dengan opsi kedua, maka pertempuran tolak menolak barang bawaan dengan kata dan tindakan pun terjadi sengit antar ibu-ibu. Kkkkwwkkkkk... pembaca budiman, tentu ini hanya sandiwara kultural. 
      Walau sandiwara tapi mereka harus jalani serius karena karena inilah tradisi kebudayaan. Pemilik hajat sebenarnya tahu bahwa mereka tak kan berhasil mengembalikan demikian hal orang berangkat kondangan juga ngerti bawaannya tak sungguh-sungguh akan dikembalikan. Suasana hampir seperti adu pencak silat saat mempelai pria akan dinikahkan dengan mempelai perempuan pada masyarakat Betawi. Pertempuran ibu-ibu saling menolak sumbangan biasa berakhir damai. Tapi tak jarang aneka tipu muslihat pula dimunculkan para bapak untuk memecah perhatian. Saat ibu-ibu saling dorong halus para bapak kerabat mempelai ada yang menggoda anak-anak. Saat terlena perhatikan apa yang diberikan pada anaknya, pemilik rumah segera menaruh barang ke mobil atau cantolan motor. Tapi bila segala cara mengembalikan dipandang tak berhasil tuan rumah harus rela hanya bisa mengembalikan berupa bungkusan lain (yang sedianya tambahan). Kkkkwwwkkk demikian unik konstruksi berpikir orang Jawa.

No comments:

Post a Comment

Beri komentar: