Saturday 26 February 2011

Antropolog dan Pangan

Banyak orang masih tersenyum sinis menanggapi diskursus krisis pangan. Seolah bencana ini tidak akan pernah menghampiri bumi Indonesia. Padahal kalau diamati hampir semua produk pangan yang dikonsumsi orang Indonesia adalah produk import. Mulai makanan kecil, penyela, hingga makanan pokok orang Indonesia harus dibeli dari luar negeri dengan atau tanpa mereka sadari. Laju pertambahan penduduk yang terus membengkak, faliditas data kemiskinan dan pengangguran yang kadang ngaco, lahirnya generasi-generasi yang buta akan makanan nenek moyangnya, menyusutnya lahan produktif, suhu politik dan keamanan dalam negeri yang labil, serta potensi menelikungnya importir adalah persoalan yang mesti menjadi perhatian negeri ini.

Bukan hanya jagung tapi juga makanan origin Indonesia lain seperti kimpul dan jwawut yang notabene lebih tahan hama dan sudah teruji cocok dengan habitat dan ekologinya. Konversi makanan pokok sudah mendesak dilakukan u mengurangi ketergantungan produsen dari luar negeri. Yang sering dipertanyakan tinggal konsumen dalam negeri mau nggak menyerap potensi lokal ini. Itu tantangan dari anli pangan, pemerintah, industri untuk membuat program back to basic ini. Bahan makanan lokal harus dapat disajikan sebagai makanan pokok yang layak dan disukai. Tentu saja revolusi atas pemaknaan "rasa enak" bisa menjadi ladang Antropologi Terapan. Bahwa nasi dianggap lebih enak itu kan sebuah intepretasi juga.

Enak adalah entepretasi buktinya kenapa orangusia 30-40th tidak suka makanan ciki2-an sementara anak2 begitu menyukainya? Apakah sel lidah orang berubah sesuai usia? tentu tidak. Yang terjadi adalah perubahan dalam mengintepretasi enak. Sebaliknya anak2 tidak suka makan jagung, singkok atau kimpul. Jadi, bukan hanya perlu kita menanam singkung tapi juga memasyarakatkan intepretasi enak-nya singkong.