Wednesday 17 June 2009

Bekerja di Luar Negeri: Nasionalis or Not?

Semenjak kran kampanye Capres dibuka tayangan berita di televisi banyak didominasi warta kampanye. Potongan kegiatan kampanye kontroversi antara pasangan JK-Wir dan SBY-berBudi tampak selalu menghias sejak awal tayangan. Maklum, berita ini banyak dinanti pemirsa. Kubu "lebih cepat lebih baik" sering tampil menyerang lawan politiknya, sementara di sisi lain kubu "lanjutkan" memilih menjadi kuda hitam (bertahan). Tampaknya orang memang banyak menanti-nanti ending dari episod ini.
Dua hari lalu saya kembali membuka Metro TV sebagai stasiun yang banyak menyajikan menu berita. Seperti biasa kliping kegiatan kampanye para Capres menghiasi gerbong pertama. Tampak tayangan bagaimana JK menerima nota dukungan dari sementara aktivis PAN. Selanjutnya tampak video klip kampanye SBY yang menentang semboyan lawan politiknya. "Lebih cepat belum tentu baik, harus ditambah tepat," kritiknya. Tidak ada yang spesial pada tampilan dua kliping berita ini karena "tampak rutin" sesuai perkiraan saya.
Perhatian saya baru terusik ketika potongan tayangan kampanye Megawati ditayangkan. Dalam potongan orasinya Megawati mempertanyakan bobot nasionalisme anak-anak muda Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri yang dinilainya hanya memikirkan keuntungan finansial sendiri. Saya agak kaget dengan statemen itu. Selanjutnya saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir; mungkin saya tidak memehami konteks Megawati karena saya tidak mendengarkan seluruh orasinya dari awal sampai akhir melainkan potongan berita saja. Mungkin saya yang tidak faham maksud beliau.
Nasionalisme terlalu dini menurut saya dinilai sekedar dari apakah seseorang bekerja di luar negeri atau di dalam negeri. Sejarah kita mencatat betapa pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja menjadi tentara PETA tidak serta merta menjadikan mereka lebih loyal pada Jepang. Mereka rela berbalik dan berdiri di belakang barisan tokoh nasional ketika bangsa Indonesia membutuhkan. Dalam konteks kekinian kita bisa berkaca pada India. Negara Asia dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia karena populasinya mencapai satu milyar jiwa.
Ekonomi India terbesar keempat di dunia dalam PDB, diukur dari segi paritas daya beli (PPP), dan memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. India mencapai rekor pertumbuhan ekonomi sekitar 8% pada 2003 namun besarnya populasi penduduk menyebabkan pendapatan per kapita India berdasarkan PPP hanya AS$3.262, berada di urutan ke-125 menurut versi Bank Dunia. Seperempat penduduk India masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam suasana krisis global Badan Pusat Statistik India mengklaim perekonomian mereka tumbuh 5,8% pada tiga bulan yang berakhir 31 Maret 2009 lalu. Tapi apalah arti semua angka itu, saya sependapat dengan Robert Prior-Wandesforde, Senior Ekonom Asia HSBC bahwa angka tersebut tetap tidak sebanding dengan populasi dan risiko angka pengangguran di India.
Besarnya populasi mau tak mau akhirnya berpengaruh pula pada daya tampung penyerapan angkatan kerja di sektor-sektor formal lokal. Kaum terdidik India akhirnya memilih mencurahkan ilmunya untuk berkarier di luar negeri. Kalau negara dan bangsa mereka memang tidak mampu menampung mereka untuk bekerja mengapa harus tetap bertahan di India. Kurang lebih itulah yang mereka pikirkan. Jangan lupa bahwa India memiliki sekolah-sekolah hebat dengan biaya SPP terjangkau. Kedokteran adalah salah satu sekolah yang bergengsi di India dan memiliki reputasi internasional. Tidak mengherankan bila sekitar 30 persen dokter di Amerika Serikat (AS) berasal dari India. India punya sekolah komputer seperti Indian Institute of Technology (IIT) Kanpur yang uang kuliah-nya hanya 10.000 rupee (sekitar Rp 2 juta) per tahun, jumlah yang setara dengan gaji sebulan guru SD di India. Setidaknya mereka punya 6 (enam) ITT sekelas ini hari ini; yang terbaru diantaranya ITT Roorkee, yang baru dinaikkan statusnya dari Universitas Roorkee pada tahun 2001. Alumni mereka banyak menyerbu Amerika sebagai tujuan kerja. Setidaknya 30 persen dari mereka menjadi pekerja teknologi informasi (diantaranya di perusahaan perangkat lunak raksasa Microsoft) meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen. Para profesional teknik dari India cukup diperhitungkan di tingkat dunia. Tidak sedikit pula ahli sains dan teknologi dari India menjadi pengajar di universitas top AS atau pekerja ahli teknik yang mendominasi perusahaan-perusahaan penting di AS. Bahkan banyak orang India menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Bukan hanya sekolah kedokteran dan teknologi informasi saya yang hebat di India. Beberapa tahun belakangan sekolah bisnis Institut Manajemen India Ahmedabad disebut-sebagai Harvard-nya India. Lulusan terbaiknya diperebutkan perusahaan multinasional dengan gaji sangat tinggi. Demikian halnya dengan sekolah-sekolah Hukum-nya.

Lalu apa dampak positif banyaknya anak muda India bekerja di luar negeri (seperti di Negara Paman Sam misalnya)? Mengurangi angka pengangguran dalam negeri itu sudah jelas, tapi pernahkah kita berpikir mengapa Amerika Serikat begitu mempermasalahkan Program Nuklir di Korea Utara dan Iran walau sebagai program cadangan energi, sementara membiarkan India yang jelas-jelas mengembangkan kekuatan militer dan senjata nuklir? Jawabannya adalah tidak sedikit orang India yang menjadi staf-staf pengajar di universitas top AS, praktisi, mendominasi perusahaan-perusahaan penting di AS dan menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Ini menjadi bergainning posisi luar negeri yang bagus untuk India.

Pertanyaan selanjutnya adalah, masihkah kita ingin menyalahkan pemuda-pemuda kita yang bekerja di luar negeri? Masihkah kita memandang mereka tidak memiliki daya nasionalisme? Mari belajar dari India.

Saturday 13 June 2009

Program Pendidikan Tak Tampak dalam Kampanye Pilpres


Sepanjang pengamatan saya, belum satu capres-pun mengusung secara detail program pendidikan. Padahal setidaknya ada dua masalah pendidikan yang sangat krusial untuk disikapi. Pertama masalah "BUMN"-isasi perguruan tinggi yang alih-alih mengurangi akses masyarakat miskin pada pendidikan tinggi. Persoalan kedua adalah besarnya gaji tunjangan guru/ dosen yang berpotensi menyedot anggaran pendidikan sendiri. Tidakkah lebih baik anggaran pendidikan lebih dioptimalkan untuk belanja fasilitas pengajaran, lab, dan alat peraga lain sehingga mampu memacu kreativitas anak didik. Apakah persoalan semacam ini tidak jauh lebih penting daripada masalah bangsa yang lain?
Memang betul pendidikan adalah investasi yang mahal dan memakan waktu panjang (setidaknya keberhasilan investasi pendidikan baru dapat dilihat dalam satu generasi). Hasil investasi pendidikan mungkn belum tampak hingga dua kali periode kabinet. Hal ini mungkin kurang menarik bagi capres.
Berkaca dari pembangunan jembatan SURAMADU yang melibatkan anggaran dari 4 masa pemerintahan presiden. Selayaknya kita dapat melakukan hal serupa pada wajah pendidikan Indonesia.
Semoga tulisan pendek ini dapat jadi renungan para capres.