Tuesday 8 May 2012

Simbolis Belaka

"He... gimana kabar? Baik jawabku sambil mengingat siapa orang di depanku. Perempuan 40an tahun, 175-an Cm, putih, diameter pinggang nggak lebih dua telapak tangan berbalut span batik sepaha, gerai hitam rambut keriting yang dilurusin pake shmooting (bukan rebonding), BlackBerry 9360 Apollo di tangan kiri, Dompet Prada coklat buaya di jepitan jari kanan, liontin mutiara onix, dan balutan kaki sekelas koleksi butiknya Roger Vivier. Bagaimana mungkin kenal dengan orang beginian. Kalo bakul nasi kuning di pasar mungkin. "Ko bengong , masih inget gua nggak, lupa atau pura-pura lupa." Nggak... nggak ingat jawabku. "Yuuh PP (gaulnya "pura-pura") pake lupa, udah sibuk sekarang?" Perasaan nggak lupa memang belum kenal jawabku. "Lho kita kan atu team waktu itu Redbull tahun lalu." Masa sih, itu acara apa? Entah mulai kesel atau sudah rada sangsi, "Ini Pak Rully Pertamina kan?" Bukan, saya ke Pertamina cuma kalau beli bensin doang jawabku. "Oh, maaf salah orang..." (dan kabur). Indonesia banget... salah main kabur, kaya koruptor. Tiba-tiba anakku nanya, "Siapa Yah?" Orang Indonesia jawab-ku. "Ko orang Indonesia."  Anakku, negeri ini tidak mengenal rasa ikhlas. Terlalu banyak orang di negeri ini yang merasa telah berbuat banyak  padahal yang dikerjakannya sekedar berkata-kata tanpa makna. Sekedar "simbolis" seperti ucapan 'maaf' sambil ngeloyor tadi.  

Keluhan Anak Bangsa: Bolehkah?




Bangsa multikultur (bhineka tunggal eka) yang nggak sadar jati drinya, bangsa maritim yang lupa punya laut (bahkan lupa cara berenang), bangsa kepulauan yang lupa bahwa distribusi harus sampai seberang, malas belajar kesalahan sejarah yang berujung 3,5 abad kolonialisme, hobby berantem buat masalah kecil hingga bikin konflik sosial, paternalistik sejati (sekedar cari patron buat berlindung) tapi takut bersaing mandiri (Jawa:ijen2), tumbuh jadi masyarakat individualis yang merasa aman masih hidup ketika tetangga mati (padahal tetangga mati berarti tinggal tunggu giliran jg). Nggak salah ada lelucon otak bangsa Indonesia berharga paling mahal di antara bangsa lain karena kondisi bagus jarang dipakai.

Wednesday 2 May 2012

Peradaban

Selamat pagi mentari pagi apa kabarmu. Kutemani sambil ngopi tubruk ya.... Hhhh..... pag-pagi sudah bikin dosa aku. Barusan taruh dua biji pindang di selembar kertas di teras. Jengkel akhirnya karena kucing tak sedia melahap. Jangan protes seadanya dimakan knapa sih???? Sama sekali tak disentuh. Dasar pedagang pasar gerutuku pasti formalin lagi. Terserahlah kalau mau ada cuma itu lalu aku duduk hampiri facebook laptopku. Betapa kaget ketika penampakan putih berkaki empat berkelebat seketika pindang pun hilang. Kucingku cuma bisa tegakkan bulu tanpa perlawanan. Tadi nggak dimakan sekarang bingung cari mencari. Tapi sebentar, kalau kucing liar mau pasti kucing rumah jelek ini mau pula. Ya Allah sorry kucing ada yang aku lupa lalu. Ku ambil piring kucing dan pindang pengganti. Lahapnya dia makan! Ya Allah.... bener2 udah berperadaban ini kucing. Kalau bukan kesayangan anakku udah aku buang kamu, makan tanpa piring tak mau.... kucing mana pula kau. Ber-peradaban.... kkkkwwwkkk.... jadi teringat istilah antropologi abad 18-19 civilization dan uncivilization. Uncivilization barangkali sudah tak dipakai lagi hari ini karena bisa bermakna penghinaan serius. Sesederhana apapun sebuah komunitas mereka tetap punya peradaban yang tentu sesuai lingkungan dan kegiatan mereka. Bila di masa lalu orang Barat bertepuk telah memperkenalkan peradaban bagi Asia-Afrika, hari ini harus ditafsir lain sebagai Barat memperkenalkan gaya hidup berbeda. Kembali ke kucing tadi rupanya anakku telah me"civilization"kan kucing untuk malu makan seperti kucing kebanyakan. Dia harus makan berpiring, sekalipun sekedar piring plastik.