Wednesday 11 November 2009

Konversi Energi Matahari, kenapa tidak?

  Panas sekali cuaca di mana-mana. Apalagi kalau pas berada di jalanan. Saya ingat saat usia SD-SMP senang sekali kalau diajak jalan ke luar kota. Yang paling saya suka ketika menyusuri suasana sejuk rindang. Saya ingat sepanjang jalan Solo-Jogja di pinggirnya ditumbuhi pohon asem yang dahannya saling berpelukan di atas jalan. Begitu rindang dan sejuk suasana saat itu. Naik sedan Datsun 160A tahun 1972 tanpa AC milik ayah saja waktu itu sudah bisa memuat kami tertidur. Tapi jangan dibilang untuk hari ini. Pohon perindang sekarang hanya tersisa di Jogja, itupun hanya di daerah Kalasan, dekat Bong Supit Bogem saja. Salah satu alasan hilangnya pohon ini adalah membahayakan pengguna jalan karena sudah terlalu besar dan tua. Keberadaan pohon di sepanjang jalan ini sekarang sudah digantikan papan reklame iklan besi yang siap menampar pengguna jalan bila ambruk. He..he.. kalau dulu ada cerita orang ketimpa dahan pohon saat lewat di jalan, hari ini masyarakat harus siap ditimpa dahan papan reklame kapitalisme.
   Berbicara masalah panas sinar matahari, Indonesia memang jagonya. Konsistensi musim di negeri ini juga mulai terganggu akibat pemanasan global dan aktifitas perubahan ekosistem lokal.. Pembalakan liar, alih fungsi lahan, pelebaran fisik kota, pelepasan sisa pembakaran dan gas beracun ke udara alih-alih sebagai sebagian penyebabnya. Dampaknya memang seperti yang dialami hari ini. Anehnya, masih saja ada orang berpikir berpikir lokal. Teman saya masih mengira bahwa kota yang udaranya panas cuma daerah rendah dekan pantai semacam Jogja atau Semarang. "Masa Salatiga panas?" kata dia. Padahal saya melihat kota ini panasnya minta ampun di siang hari. Kulit rasanya terbakar berkendara dengan motor. Bahkan, kita bisa melakukan hal yang sulit dilakukan 10 tahun yang lalu seperti tidur malam tanpa selimut.
Berbicara tentang panas matahari masih ada satu hal yang menarik bila kita kaitkan dengan ancaman krisis energi listrik  di dunia. Banyak negara kaya sudah jauh-jauh hari merisaukan bencana ini dan menyusun aneka strategi menghadapinya. Setidaknya aneka sumber energi listrik  baru telah digagas untuk hal ini. Energi listrik  nuklir, geotermal, angin, sinar matahari, bio-diesel, dan mungkin masih telah banyak mereka kaji. Bahkan, Arab Saudi sang pemilik cadangan minyak terbesar dunia pun sudah mengambil ancangan meninggalkan meninggalkan bisnis konvensional mereka. Intensifikasi pariwisata agaknya menjadi pilihan ke depan negara tujuan TKW ini. Hampir semua negara maju bergerilya energi listrik  baru bahkan hingga melampaui keterbatasan SDA mereka. Bagaimana Indonesia?
   Saya melihat negeri kaya SDA dan loh jinawi ini berjalan bak orang tambun yang kegemukan menyeret kelebihan lemak. Kaya energi listrik  tapi menderita latah kebingungan. Konsentrasi negara ini habis untuk memikirkan inovasi energi listrik  bersekala high-tecno; energi listrik  geo-termal, nuklir, atau air laut- lah misalnya. Ribut-ribut kasus blue-energy adalah sebagian contohnya. Sementara negara sibuk menggagas penyiapan energi listrik  bermodal besar seperti gagasan Barony Herdiarto tentang pembangkit listrik masa depan (http://pijar.org/content/view/195/68), tiap hari rakyat harus dirundung kesulitan akibat terhambat kegian keseharian mereka karena pemadaman listrik bergilir. Tidak mudah hari ini mengakses rancangan program 100 hari pemerintah secara detail tiap menteri. Setiap kali klik selalu masuk pada paparan-paparan normatif yang kurang operasional. Saya termasuk yang merisaukan bagaimana program penangan krisis energi listrik  yang ke depan. Saya melihat krisis energi listrik  adalah bencana yang siap menggantikan krisis ekonomi yang telah lewat. Krisis ekonomi saya katakan lewat karena secara fundamental ekonomi negara memang telah pulih bahkan kita mampu lunasi semua hutang negara dan berhasil memboyong hutang baru.
   Berpikir di tingkat makro-negara tentu kadang-kadang menghasilkan kesimpulan berbeda dibanding kita melihat secara mikro real kondisi rakyat di bawah. Ketika pendekatan makro dilakukan konteks rakyat ini tak ubahnya citra dalam gambar peta. Gambar peta akan menampilkan jarak yang relatif pendek, tanpa penampakan sosio-dinamik, dan dapat digulung setiap saat. Kondisi yang sangat berbeda bahkan berlawanan dapat disaksikan bila kita lihat kondisi real lapangan. Betapa rakyat sudah tidak berdaya menunggu akhir penyelesaian kelangkaan energi listrik  listrik mereka. Energi listrik  berskala tinggi mungkin menjanjikan keperkasaan power output-nya. Tapi bila dikaitkan dengan variabel modal-kapital dan waktu (yang diperlukan) ini bisa jadi menjadi masalah serius jangka pendek untuk rakyat. Mengulur jarak barang dua atau tiga centimeter dalam peta mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi pelakunya. Tapi bila kita lihat pergeseran pada peta dalam skala yang sesungguhnya itu bisa terpaut sekian kilometer. Pergeseran jari di atas peta akan berpengaruh sangat signifikan semakin jauhnya jarak pada skala di lapangan. Demikian halnya untuk urusan kelangkaan energi listrik  ini. Pemerintah bisa membuat rancangan sekian puluh tahun ke depan kita punya X. Tapi tidak banyak masyarakat yang kuat menunggu sampai hari X itu tiba. Bagaimana mungkin mereka menunggu sampai sekian puluh tahun ke depan mimpi menjadi kenyataan sementara hari ini mereka melewarti penderitaan tiap detik-nya.
   Gagasan tentang energi listrik  tingkat tinggi boleh-lah menjadi program unggulan. Namun harus ada upaya mendesak konversi energi listrik  baru yang siap pakai untuk hari ini sebagai ganjal (kalau tidak boleh disebut sebagai pengganti). SDA Indonesia memungkinkan anak bangsa untuk memanen cahaya matahari hampir tiap tahunnya. Sebuah kondisi yang berbeda dibandingkan Eropa. Mengapa kita tidak maanfaatkan energi ini untuk kebutuhan listrik rakyat kita? Saya tidak menolak karena keterbatasan teknologi, energi listrik  tenaga surya belum mampu menghasilkan output-power layaknya energi dari perut bumi. Namun, setidaknya bisa diupayakan teknologi penangkap energi listrik  matahari atau solar-cell untuk penerangan skala rumah tangga.
   Kalau betul konversi minyak adalah ide berdua SBY-Kalla tentu dengan patner yang baru SBY masih mampu merealisasikan konversi teknologi solar-cell untuk listrik rumah tangga. Sekalipun bukan menggantikan seluruhnya tapi paling tidak membantu kehidupan masyarakat. Rumah-rumah di Australia belakangan banyak yang mengadopsi teknologi ini. Bagaimana di Indonesia? Kalau pun masyarakat ada kemampuan membeli, adakah penjualnya???