Kalau betul konversi minyak adalah ide berdua SBY-Kalla tentu dengan patner yang baru SBY masih mampu merealisasikan konversi teknologi solar-cell untuk listrik rumah tangga. Sekalipun bukan menggantikan seluruhnya tapi paling tidak membantu kehidupan masyarakat. Rumah-rumah di
Wednesday 11 November 2009
Konversi Energi Matahari, kenapa tidak?
Kalau betul konversi minyak adalah ide berdua SBY-Kalla tentu dengan patner yang baru SBY masih mampu merealisasikan konversi teknologi solar-cell untuk listrik rumah tangga. Sekalipun bukan menggantikan seluruhnya tapi paling tidak membantu kehidupan masyarakat. Rumah-rumah di
Monday 7 September 2009
Reinterpretasi Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 17 Agustus malam saya coba buka email dan ternyata ada sahabat lama yang baru kirim. Terhenyak juga saya membaca isi emailnya,
Saya tidak tahu apakah sindrom ini dapat menjangkiti para tokoh panyelenggara negara kita juga. Saya kira tidak, karena beliau-beliau adalah orang-orang terbaik yang kita punya. Tapi keraguan mulai muncul negara bereaksi sangat minim ketika pulau-pulau dan aneka produk budaya Indonesia banyak didaku negara tetangga sebagai komoditas bernilai ekonomi yang menggemukkan kantong mereka. Sikap tegas memang tentu tidak selalu dibayangkan dengan "perang". Sikap tegas bisa ditempuh melalui upaya penguatan bergaining seperti diplomasi, promosi, dan semakin memacu kreatifitas anak negeri menciptakan hal baru. Tapi agaknya penyelenggara negara se-gamang rakyatnya dalam mengingat "merdeka". Agaknya penyebabnya pun sama karena himpitan kebutuhan ekonomi. Bagaimana dapat menunjukkan sikap tegas bila rakyatnya masih mengemis dollar dan "ringgit" ke negara -negara tetangga ini. Repot memang.
Sejenak ingatan saya terlempar kembali pada kejadian tanggal 17 Agustus 2009 itu. Pikiran menggelitik saya muncul, mungkin orang Indonesia tidak mampu berteriak "merdeka" lantang karena gagap merasa tidak lagi merdeka.
special say for Coklat-Band:
Coklat dengan lagu-lagunya adalah contoh pahlawan-pahlawan kemerdekaan hari ini.
Wednesday 17 June 2009
Bekerja di Luar Negeri: Nasionalis or Not?
Dua hari lalu saya kembali membuka Metro TV sebagai stasiun yang banyak menyajikan menu berita. Seperti biasa kliping kegiatan kampanye para Capres menghiasi gerbong pertama. Tampak tayangan bagaimana JK menerima nota dukungan dari sementara aktivis PAN. Selanjutnya tampak video klip kampanye SBY yang menentang semboyan lawan politiknya. "Lebih cepat belum tentu baik, harus ditambah tepat," kritiknya. Tidak ada yang spesial pada tampilan dua kliping berita ini karena "tampak rutin" sesuai perkiraan saya.
Perhatian saya baru terusik ketika potongan tayangan kampanye Megawati ditayangkan. Dalam potongan orasinya Megawati mempertanyakan bobot nasionalisme anak-anak muda Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri yang dinilainya hanya memikirkan keuntungan finansial sendiri. Saya agak kaget dengan statemen itu. Selanjutnya saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir; mungkin saya tidak memehami konteks Megawati karena saya tidak mendengarkan seluruh orasinya dari awal sampai akhir melainkan potongan berita saja. Mungkin saya yang tidak faham maksud beliau.
Nasionalisme terlalu dini menurut saya dinilai sekedar dari apakah seseorang bekerja di luar negeri atau di dalam negeri. Sejarah kita mencatat betapa pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja menjadi tentara PETA tidak serta merta menjadikan mereka lebih loyal pada Jepang. Mereka rela berbalik dan berdiri di belakang barisan tokoh nasional ketika bangsa Indonesia membutuhkan. Dalam konteks kekinian kita bisa berkaca pada India. Negara Asia dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia karena populasinya mencapai satu milyar jiwa.
Ekonomi India terbesar keempat di dunia dalam PDB, diukur dari segi paritas daya beli (PPP), dan memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. India mencapai rekor pertumbuhan ekonomi sekitar 8% pada 2003 namun besarnya populasi penduduk menyebabkan pendapatan per kapita India berdasarkan PPP hanya AS$3.262, berada di urutan ke-125 menurut versi Bank Dunia. Seperempat penduduk India masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam suasana krisis global Badan Pusat Statistik India mengklaim perekonomian mereka tumbuh 5,8% pada tiga bulan yang berakhir 31 Maret 2009 lalu. Tapi apalah arti semua angka itu, saya sependapat dengan Robert Prior-Wandesforde, Senior Ekonom Asia HSBC bahwa angka tersebut tetap tidak sebanding dengan populasi dan risiko angka pengangguran di India.
Besarnya populasi mau tak mau akhirnya berpengaruh pula pada daya tampung penyerapan angkatan kerja di sektor-sektor formal lokal. Kaum terdidik India akhirnya memilih mencurahkan ilmunya untuk berkarier di luar negeri. Kalau negara dan bangsa mereka memang tidak mampu menampung mereka untuk bekerja mengapa harus tetap bertahan di India. Kurang lebih itulah yang mereka pikirkan. Jangan lupa bahwa India memiliki sekolah-sekolah hebat dengan biaya SPP terjangkau. Kedokteran adalah salah satu sekolah yang bergengsi di India dan memiliki reputasi internasional. Tidak mengherankan bila sekitar 30 persen dokter di Amerika Serikat (AS) berasal dari India. India punya sekolah komputer seperti Indian Institute of Technology (IIT) Kanpur yang uang kuliah-nya hanya 10.000 rupee (sekitar Rp 2 juta) per tahun, jumlah yang setara dengan gaji sebulan guru SD di India. Setidaknya mereka punya 6 (enam) ITT sekelas ini hari ini; yang terbaru diantaranya ITT Roorkee, yang baru dinaikkan statusnya dari Universitas Roorkee pada tahun 2001. Alumni mereka banyak menyerbu Amerika sebagai tujuan kerja. Setidaknya 30 persen dari mereka menjadi pekerja teknologi informasi (diantaranya di perusahaan perangkat lunak raksasa Microsoft) meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen. Para profesional teknik dari India cukup diperhitungkan di tingkat dunia. Tidak sedikit pula ahli sains dan teknologi dari India menjadi pengajar di universitas top AS atau pekerja ahli teknik yang mendominasi perusahaan-perusahaan penting di AS. Bahkan banyak orang India menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Bukan hanya sekolah kedokteran dan teknologi informasi saya yang hebat di India. Beberapa tahun belakangan sekolah bisnis Institut Manajemen India Ahmedabad disebut-sebagai Harvard-nya India. Lulusan terbaiknya diperebutkan perusahaan multinasional dengan gaji sangat tinggi. Demikian halnya dengan sekolah-sekolah Hukum-nya.
Lalu apa dampak positif banyaknya anak muda India bekerja di luar negeri (seperti di Negara Paman Sam misalnya)? Mengurangi angka pengangguran dalam negeri itu sudah jelas, tapi pernahkah kita berpikir mengapa Amerika Serikat begitu mempermasalahkan Program Nuklir di Korea Utara dan Iran walau sebagai program cadangan energi, sementara membiarkan India yang jelas-jelas mengembangkan kekuatan militer dan senjata nuklir? Jawabannya adalah tidak sedikit orang India yang menjadi staf-staf pengajar di universitas top AS, praktisi, mendominasi perusahaan-perusahaan penting di AS dan menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Ini menjadi bergainning posisi luar negeri yang bagus untuk India.
Pertanyaan selanjutnya adalah, masihkah kita ingin menyalahkan pemuda-pemuda kita yang bekerja di luar negeri? Masihkah kita memandang mereka tidak memiliki daya nasionalisme? Mari belajar dari India.
Saturday 13 June 2009
Program Pendidikan Tak Tampak dalam Kampanye Pilpres
Memang betul pendidikan adalah investasi yang mahal dan memakan waktu panjang (setidaknya keberhasilan investasi pendidikan baru dapat dilihat dalam satu generasi). Hasil investasi pendidikan mungkn belum tampak hingga dua kali periode kabinet. Hal ini mungkin kurang menarik bagi capres.
Berkaca dari pembangunan jembatan SURAMADU yang melibatkan anggaran dari 4 masa pemerintahan presiden. Selayaknya kita dapat melakukan hal serupa pada wajah pendidikan Indonesia.
Semoga tulisan pendek ini dapat jadi renungan para capres.
Saturday 21 March 2009
Kompor Sekam
TEKNOLOGI: Kompor Gas Isi Sekam
by rioardiTABUNG biru setinggi 80 cm di dapur Utami Fautngil Janan bukan berisi gas, melainkan sekam. Kulit padi itulah sumber gas untuk menyalakan dua kompor. Lidah api menyala biru jernih tanpa menimbulkan jelaga. “Praktis dan murah,” kata perempuan warga Surakarta, Jawa Tengah, itu.
Saat itu, Janan tengah menggoreng jamur tiram Pleurotus ostreatus dengan kompor berbahan sekam. Mula-mula ia meletakkan arang kayu membara di dasar tabung. Di atas bara, Janan menambahkan 6 kg sekam kering. Agar pasokan oksigen lancar, ia mengaktifkan blower yang berhubungan dengan tabung itu. Asap hasil pembakaran sekam mengandung gas metan berkadar 30% itulah yang menjadi sumber bahan bakar kompor.
Gas mengalir melalui pipa polivinilchlorida berdiameter 2,5 cm. Metan atau metana merupakan gas yang tak berbau, tanpa warna, mudah terbakar, dan sulit larut dalam air.
Gas sekam yang digunakan Janan itu hasil inovasi Soelaiman Budi Sunarto. Budi selama ini dikenal sebagai produsen bioetanol di Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Banyak Bahan
Menurut Budi, dengan 6 kg sekam, kompor menyala hingga 3 jam tanpa henti. Itu setara dengan 1,5 liter minyak tanah. Saat ini harga seliter minyak tanah Rp5.000 atau Rp7.500 per 1,5 liter. Sedangkan sekam di Karanganyar, Jawa Tengah, tak ada harganya.
Semakin besar volume bahan baku, kian lama kompor menyala. Sekam dapat ditambahkan ketika persediaan dalam tabung menipis. Itu setelah mengeluarkan sisa pembakaran sekam dalam tabung. Abu itu masih bermanfaat sebagai pupuk atau media tanam.
Budi pun menyempurnakan gas temuannya. Agar lebih aman, ia mempertebal tabung hingga 5 mm; sebelumnya, 3 mm. Tabung bahan baku itu ia masukkan ke dalam drum yang sebagian permukaannya diberi air untuk menurunkan energi partikel metan (lihat ilustrasi). Dengan penambahan air, suhu gas turun sehingga mencegah tabung meledak. Tabung bahan baku berkapasitas 50 kg mampu menyalakan sebuah kompor selama 8 jam nonstop.
Jika kadar metana sekam 30%, 50 kg bahan baku setara dengan gas berbobot 15 kg. Selain sekam, beberapa bahan potensial lain adalah serbuk gergaji, kulit durian, jerami, dan klobot alias kulit jagung. Cara menyalakan kompor sama saja: meletakkan arang kayu membara di bagian dasar tabung dan mengaktifkan blower berkekuatan 5 watt.
Bagaimana jika listrik padam? Menurut Budi energi untuk blower dapat digantikan dengan aki atau baterai. Budi memasang press guege di tangki penampung gas untuk mengetahui ketersediaan tekanan gas. Dengan melihat alat itu pengguna kompor biogas tahu kapan harus menambah sekam.
Menurut Budi, kompor gas tenaga sekam sudah terjual 9 buah sejak diluncurkan pada Januari 2009. “Yang inden memesan sekarang ada 18 orang,” kata pria kelahiran Semarang 29 Mei 1963 itu.
Harga sebuah kompor dengan tangki 5 kg Rp3 juta. “Biaya produksi untuk membuat kompor sangat tinggi, terutama untuk pengadaan besi pelat setebal 5 mm,” kata Budi. n TRUBUS
Ditulis dalam pengetahuan | Tag: agrobisnis, BBM, BBM Alternatif, elpiji, kompor gas, minyak, padi, pengganti minyak, sekam padi
Saturday 14 February 2009
Mau Kemana Pendidikan Indonesia?
Sumber: DrGa opinion (http://drganteng.blogspot.com/2007/12/inikah-pendidikan-indonesia.html)