Wednesday 11 November 2009

Konversi Energi Matahari, kenapa tidak?

  Panas sekali cuaca di mana-mana. Apalagi kalau pas berada di jalanan. Saya ingat saat usia SD-SMP senang sekali kalau diajak jalan ke luar kota. Yang paling saya suka ketika menyusuri suasana sejuk rindang. Saya ingat sepanjang jalan Solo-Jogja di pinggirnya ditumbuhi pohon asem yang dahannya saling berpelukan di atas jalan. Begitu rindang dan sejuk suasana saat itu. Naik sedan Datsun 160A tahun 1972 tanpa AC milik ayah saja waktu itu sudah bisa memuat kami tertidur. Tapi jangan dibilang untuk hari ini. Pohon perindang sekarang hanya tersisa di Jogja, itupun hanya di daerah Kalasan, dekat Bong Supit Bogem saja. Salah satu alasan hilangnya pohon ini adalah membahayakan pengguna jalan karena sudah terlalu besar dan tua. Keberadaan pohon di sepanjang jalan ini sekarang sudah digantikan papan reklame iklan besi yang siap menampar pengguna jalan bila ambruk. He..he.. kalau dulu ada cerita orang ketimpa dahan pohon saat lewat di jalan, hari ini masyarakat harus siap ditimpa dahan papan reklame kapitalisme.
   Berbicara masalah panas sinar matahari, Indonesia memang jagonya. Konsistensi musim di negeri ini juga mulai terganggu akibat pemanasan global dan aktifitas perubahan ekosistem lokal.. Pembalakan liar, alih fungsi lahan, pelebaran fisik kota, pelepasan sisa pembakaran dan gas beracun ke udara alih-alih sebagai sebagian penyebabnya. Dampaknya memang seperti yang dialami hari ini. Anehnya, masih saja ada orang berpikir berpikir lokal. Teman saya masih mengira bahwa kota yang udaranya panas cuma daerah rendah dekan pantai semacam Jogja atau Semarang. "Masa Salatiga panas?" kata dia. Padahal saya melihat kota ini panasnya minta ampun di siang hari. Kulit rasanya terbakar berkendara dengan motor. Bahkan, kita bisa melakukan hal yang sulit dilakukan 10 tahun yang lalu seperti tidur malam tanpa selimut.
Berbicara tentang panas matahari masih ada satu hal yang menarik bila kita kaitkan dengan ancaman krisis energi listrik  di dunia. Banyak negara kaya sudah jauh-jauh hari merisaukan bencana ini dan menyusun aneka strategi menghadapinya. Setidaknya aneka sumber energi listrik  baru telah digagas untuk hal ini. Energi listrik  nuklir, geotermal, angin, sinar matahari, bio-diesel, dan mungkin masih telah banyak mereka kaji. Bahkan, Arab Saudi sang pemilik cadangan minyak terbesar dunia pun sudah mengambil ancangan meninggalkan meninggalkan bisnis konvensional mereka. Intensifikasi pariwisata agaknya menjadi pilihan ke depan negara tujuan TKW ini. Hampir semua negara maju bergerilya energi listrik  baru bahkan hingga melampaui keterbatasan SDA mereka. Bagaimana Indonesia?
   Saya melihat negeri kaya SDA dan loh jinawi ini berjalan bak orang tambun yang kegemukan menyeret kelebihan lemak. Kaya energi listrik  tapi menderita latah kebingungan. Konsentrasi negara ini habis untuk memikirkan inovasi energi listrik  bersekala high-tecno; energi listrik  geo-termal, nuklir, atau air laut- lah misalnya. Ribut-ribut kasus blue-energy adalah sebagian contohnya. Sementara negara sibuk menggagas penyiapan energi listrik  bermodal besar seperti gagasan Barony Herdiarto tentang pembangkit listrik masa depan (http://pijar.org/content/view/195/68), tiap hari rakyat harus dirundung kesulitan akibat terhambat kegian keseharian mereka karena pemadaman listrik bergilir. Tidak mudah hari ini mengakses rancangan program 100 hari pemerintah secara detail tiap menteri. Setiap kali klik selalu masuk pada paparan-paparan normatif yang kurang operasional. Saya termasuk yang merisaukan bagaimana program penangan krisis energi listrik  yang ke depan. Saya melihat krisis energi listrik  adalah bencana yang siap menggantikan krisis ekonomi yang telah lewat. Krisis ekonomi saya katakan lewat karena secara fundamental ekonomi negara memang telah pulih bahkan kita mampu lunasi semua hutang negara dan berhasil memboyong hutang baru.
   Berpikir di tingkat makro-negara tentu kadang-kadang menghasilkan kesimpulan berbeda dibanding kita melihat secara mikro real kondisi rakyat di bawah. Ketika pendekatan makro dilakukan konteks rakyat ini tak ubahnya citra dalam gambar peta. Gambar peta akan menampilkan jarak yang relatif pendek, tanpa penampakan sosio-dinamik, dan dapat digulung setiap saat. Kondisi yang sangat berbeda bahkan berlawanan dapat disaksikan bila kita lihat kondisi real lapangan. Betapa rakyat sudah tidak berdaya menunggu akhir penyelesaian kelangkaan energi listrik  listrik mereka. Energi listrik  berskala tinggi mungkin menjanjikan keperkasaan power output-nya. Tapi bila dikaitkan dengan variabel modal-kapital dan waktu (yang diperlukan) ini bisa jadi menjadi masalah serius jangka pendek untuk rakyat. Mengulur jarak barang dua atau tiga centimeter dalam peta mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi pelakunya. Tapi bila kita lihat pergeseran pada peta dalam skala yang sesungguhnya itu bisa terpaut sekian kilometer. Pergeseran jari di atas peta akan berpengaruh sangat signifikan semakin jauhnya jarak pada skala di lapangan. Demikian halnya untuk urusan kelangkaan energi listrik  ini. Pemerintah bisa membuat rancangan sekian puluh tahun ke depan kita punya X. Tapi tidak banyak masyarakat yang kuat menunggu sampai hari X itu tiba. Bagaimana mungkin mereka menunggu sampai sekian puluh tahun ke depan mimpi menjadi kenyataan sementara hari ini mereka melewarti penderitaan tiap detik-nya.
   Gagasan tentang energi listrik  tingkat tinggi boleh-lah menjadi program unggulan. Namun harus ada upaya mendesak konversi energi listrik  baru yang siap pakai untuk hari ini sebagai ganjal (kalau tidak boleh disebut sebagai pengganti). SDA Indonesia memungkinkan anak bangsa untuk memanen cahaya matahari hampir tiap tahunnya. Sebuah kondisi yang berbeda dibandingkan Eropa. Mengapa kita tidak maanfaatkan energi ini untuk kebutuhan listrik rakyat kita? Saya tidak menolak karena keterbatasan teknologi, energi listrik  tenaga surya belum mampu menghasilkan output-power layaknya energi dari perut bumi. Namun, setidaknya bisa diupayakan teknologi penangkap energi listrik  matahari atau solar-cell untuk penerangan skala rumah tangga.
   Kalau betul konversi minyak adalah ide berdua SBY-Kalla tentu dengan patner yang baru SBY masih mampu merealisasikan konversi teknologi solar-cell untuk listrik rumah tangga. Sekalipun bukan menggantikan seluruhnya tapi paling tidak membantu kehidupan masyarakat. Rumah-rumah di Australia belakangan banyak yang mengadopsi teknologi ini. Bagaimana di Indonesia? Kalau pun masyarakat ada kemampuan membeli, adakah penjualnya???

Monday 7 September 2009

Reinterpretasi Kemerdekaan Indonesia


Hari ini tepat 21 hari kita meninggalkan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Hari ini kita masih melihat satu dua merah putih yang masih berkibar penuh entah karena hebatnya nasionalisme pemiliknya atau hanya lupa. Semakin jauh dari peristiwa kemerdekaan tak pelak memang punya andil mengurangi sense pada perjuangan kemerdekaan kita. Saya punya beberapa catatan tentang ini.
Saat saya menjadi panitia lomba jalan sehat di kampung (17 Agustus 2009 lalu) tiba-tiba datang seorang tetangga usia 50-an tahun yang hadir terlambat. Bapak itu menyalami semua peserta dan panitia yang ada sambil berkali-kali mengucapkan kata selamat merdeka sambil menggenggam tangan di udara tiap usai bersalaman. Orang itu tidak berolok atau main-main karena tiap tahun ia melakukan hal yang sama. Tidak tampak ada orang berani menjawabnya dengan pekikan merdeka yang sama termasuk saya. Kebanyakan orang membalas jabat tangannya dengan sekedar senyum, ketawa, diam-berpikir, atau paling-paling berjabat sambil menjawab "selamat" saja atau "merdeka" saja itupun dengan nada teramat lirih. Kalau boleh saya menyimpulkan mengapa orang tidak membalas teriakan merdeka serenyah orang itu. Mungkin masyarakat berpikir sama, "emang hari ini Inonesia sudah merdeka sejak sekian tahun yang lalu so... ada apa dengan merdeka?"
Tanggal 17 Agustus malam saya coba buka email dan ternyata ada sahabat lama yang baru kirim. Terhenyak juga saya membaca isi emailnya,
"Merdeka!!!!!!!! Merdeka Pak Ajie! Selamat Hari Kemerdekaan ke 64 semoga kita senantiasa diberikan kesejahteraan dan keadilan sosial, kerakyatan, persatuan dan kemanusiaan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Merdeka!!!! Merdeka!!!! Merdeka !!!!"
Sungguh ini pengalaman tidak biasa. Kita biasa mendapat kiriman ucapan selamat ulang tahun diri, lebaran, tahun baru, marhaban ya ramadhan, dan sebagainya. Tapi ini.... Sungguh ini ucapan langka terutama ketika ingatan orang akan esensi kemerdekaan telah terkubur himpitan kebutuhan hidup. Fenomena Indonesia merdeka seolah telah out-offdate atau tersingkir ke sistem recycle bin memori masyarakat.

Saya tidak tahu apakah sindrom ini dapat menjangkiti para tokoh panyelenggara negara kita juga. Saya kira tidak, karena beliau-beliau adalah orang-orang terbaik yang kita punya. Tapi keraguan mulai muncul negara bereaksi sangat minim ketika pulau-pulau dan aneka produk budaya Indonesia banyak didaku negara tetangga sebagai komoditas bernilai ekonomi yang menggemukkan kantong mereka. Sikap tegas memang tentu tidak selalu dibayangkan dengan "perang". Sikap tegas bisa ditempuh melalui upaya penguatan bergaining seperti diplomasi, promosi, dan semakin memacu kreatifitas anak negeri menciptakan hal baru. Tapi agaknya penyelenggara negara se-gamang rakyatnya dalam mengingat "merdeka". Agaknya penyebabnya pun sama karena himpitan kebutuhan ekonomi. Bagaimana dapat menunjukkan sikap tegas bila rakyatnya masih mengemis dollar dan "ringgit" ke negara -negara tetangga ini. Repot memang.

Sejenak ingatan saya terlempar kembali pada kejadian tanggal 17 Agustus 2009 itu. Pikiran menggelitik saya muncul, mungkin orang Indonesia tidak mampu berteriak "merdeka" lantang karena gagap merasa tidak lagi merdeka.

special say for Coklat-Band:
Coklat dengan lagu-lagunya adalah contoh pahlawan-pahlawan kemerdekaan hari ini.





Wednesday 17 June 2009

Bekerja di Luar Negeri: Nasionalis or Not?

Semenjak kran kampanye Capres dibuka tayangan berita di televisi banyak didominasi warta kampanye. Potongan kegiatan kampanye kontroversi antara pasangan JK-Wir dan SBY-berBudi tampak selalu menghias sejak awal tayangan. Maklum, berita ini banyak dinanti pemirsa. Kubu "lebih cepat lebih baik" sering tampil menyerang lawan politiknya, sementara di sisi lain kubu "lanjutkan" memilih menjadi kuda hitam (bertahan). Tampaknya orang memang banyak menanti-nanti ending dari episod ini.
Dua hari lalu saya kembali membuka Metro TV sebagai stasiun yang banyak menyajikan menu berita. Seperti biasa kliping kegiatan kampanye para Capres menghiasi gerbong pertama. Tampak tayangan bagaimana JK menerima nota dukungan dari sementara aktivis PAN. Selanjutnya tampak video klip kampanye SBY yang menentang semboyan lawan politiknya. "Lebih cepat belum tentu baik, harus ditambah tepat," kritiknya. Tidak ada yang spesial pada tampilan dua kliping berita ini karena "tampak rutin" sesuai perkiraan saya.
Perhatian saya baru terusik ketika potongan tayangan kampanye Megawati ditayangkan. Dalam potongan orasinya Megawati mempertanyakan bobot nasionalisme anak-anak muda Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri yang dinilainya hanya memikirkan keuntungan finansial sendiri. Saya agak kaget dengan statemen itu. Selanjutnya saya mencoba menenangkan diri dengan berpikir; mungkin saya tidak memehami konteks Megawati karena saya tidak mendengarkan seluruh orasinya dari awal sampai akhir melainkan potongan berita saja. Mungkin saya yang tidak faham maksud beliau.
Nasionalisme terlalu dini menurut saya dinilai sekedar dari apakah seseorang bekerja di luar negeri atau di dalam negeri. Sejarah kita mencatat betapa pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja menjadi tentara PETA tidak serta merta menjadikan mereka lebih loyal pada Jepang. Mereka rela berbalik dan berdiri di belakang barisan tokoh nasional ketika bangsa Indonesia membutuhkan. Dalam konteks kekinian kita bisa berkaca pada India. Negara Asia dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia karena populasinya mencapai satu milyar jiwa.
Ekonomi India terbesar keempat di dunia dalam PDB, diukur dari segi paritas daya beli (PPP), dan memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. India mencapai rekor pertumbuhan ekonomi sekitar 8% pada 2003 namun besarnya populasi penduduk menyebabkan pendapatan per kapita India berdasarkan PPP hanya AS$3.262, berada di urutan ke-125 menurut versi Bank Dunia. Seperempat penduduk India masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam suasana krisis global Badan Pusat Statistik India mengklaim perekonomian mereka tumbuh 5,8% pada tiga bulan yang berakhir 31 Maret 2009 lalu. Tapi apalah arti semua angka itu, saya sependapat dengan Robert Prior-Wandesforde, Senior Ekonom Asia HSBC bahwa angka tersebut tetap tidak sebanding dengan populasi dan risiko angka pengangguran di India.
Besarnya populasi mau tak mau akhirnya berpengaruh pula pada daya tampung penyerapan angkatan kerja di sektor-sektor formal lokal. Kaum terdidik India akhirnya memilih mencurahkan ilmunya untuk berkarier di luar negeri. Kalau negara dan bangsa mereka memang tidak mampu menampung mereka untuk bekerja mengapa harus tetap bertahan di India. Kurang lebih itulah yang mereka pikirkan. Jangan lupa bahwa India memiliki sekolah-sekolah hebat dengan biaya SPP terjangkau. Kedokteran adalah salah satu sekolah yang bergengsi di India dan memiliki reputasi internasional. Tidak mengherankan bila sekitar 30 persen dokter di Amerika Serikat (AS) berasal dari India. India punya sekolah komputer seperti Indian Institute of Technology (IIT) Kanpur yang uang kuliah-nya hanya 10.000 rupee (sekitar Rp 2 juta) per tahun, jumlah yang setara dengan gaji sebulan guru SD di India. Setidaknya mereka punya 6 (enam) ITT sekelas ini hari ini; yang terbaru diantaranya ITT Roorkee, yang baru dinaikkan statusnya dari Universitas Roorkee pada tahun 2001. Alumni mereka banyak menyerbu Amerika sebagai tujuan kerja. Setidaknya 30 persen dari mereka menjadi pekerja teknologi informasi (diantaranya di perusahaan perangkat lunak raksasa Microsoft) meski Bill Gates hanya menyebut angka sekitar 20 persen. Para profesional teknik dari India cukup diperhitungkan di tingkat dunia. Tidak sedikit pula ahli sains dan teknologi dari India menjadi pengajar di universitas top AS atau pekerja ahli teknik yang mendominasi perusahaan-perusahaan penting di AS. Bahkan banyak orang India menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Bukan hanya sekolah kedokteran dan teknologi informasi saya yang hebat di India. Beberapa tahun belakangan sekolah bisnis Institut Manajemen India Ahmedabad disebut-sebagai Harvard-nya India. Lulusan terbaiknya diperebutkan perusahaan multinasional dengan gaji sangat tinggi. Demikian halnya dengan sekolah-sekolah Hukum-nya.

Lalu apa dampak positif banyaknya anak muda India bekerja di luar negeri (seperti di Negara Paman Sam misalnya)? Mengurangi angka pengangguran dalam negeri itu sudah jelas, tapi pernahkah kita berpikir mengapa Amerika Serikat begitu mempermasalahkan Program Nuklir di Korea Utara dan Iran walau sebagai program cadangan energi, sementara membiarkan India yang jelas-jelas mengembangkan kekuatan militer dan senjata nuklir? Jawabannya adalah tidak sedikit orang India yang menjadi staf-staf pengajar di universitas top AS, praktisi, mendominasi perusahaan-perusahaan penting di AS dan menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Ini menjadi bergainning posisi luar negeri yang bagus untuk India.

Pertanyaan selanjutnya adalah, masihkah kita ingin menyalahkan pemuda-pemuda kita yang bekerja di luar negeri? Masihkah kita memandang mereka tidak memiliki daya nasionalisme? Mari belajar dari India.

Saturday 13 June 2009

Program Pendidikan Tak Tampak dalam Kampanye Pilpres


Sepanjang pengamatan saya, belum satu capres-pun mengusung secara detail program pendidikan. Padahal setidaknya ada dua masalah pendidikan yang sangat krusial untuk disikapi. Pertama masalah "BUMN"-isasi perguruan tinggi yang alih-alih mengurangi akses masyarakat miskin pada pendidikan tinggi. Persoalan kedua adalah besarnya gaji tunjangan guru/ dosen yang berpotensi menyedot anggaran pendidikan sendiri. Tidakkah lebih baik anggaran pendidikan lebih dioptimalkan untuk belanja fasilitas pengajaran, lab, dan alat peraga lain sehingga mampu memacu kreativitas anak didik. Apakah persoalan semacam ini tidak jauh lebih penting daripada masalah bangsa yang lain?
Memang betul pendidikan adalah investasi yang mahal dan memakan waktu panjang (setidaknya keberhasilan investasi pendidikan baru dapat dilihat dalam satu generasi). Hasil investasi pendidikan mungkn belum tampak hingga dua kali periode kabinet. Hal ini mungkin kurang menarik bagi capres.
Berkaca dari pembangunan jembatan SURAMADU yang melibatkan anggaran dari 4 masa pemerintahan presiden. Selayaknya kita dapat melakukan hal serupa pada wajah pendidikan Indonesia.
Semoga tulisan pendek ini dapat jadi renungan para capres.

Saturday 21 March 2009

Kompor Sekam

TEKNOLOGI: Kompor Gas Isi Sekam

by rioardi

TABUNG biru setinggi 80 cm di dapur Utami Fautngil Janan bukan berisi gas, melainkan sekam. Kulit padi itulah sumber gas untuk menyalakan dua kompor. Lidah api menyala biru jernih tanpa menimbulkan jelaga. “Praktis dan murah,” kata perempuan warga Surakarta, Jawa Tengah, itu.

Saat itu, Janan tengah menggoreng jamur tiram Pleurotus ostreatus dengan kompor berbahan sekam. Mula-mula ia meletakkan arang kayu membara di dasar tabung. Di atas bara, Janan menambahkan 6 kg sekam kering. Agar pasokan oksigen lancar, ia mengaktifkan blower yang berhubungan dengan tabung itu. Asap hasil pembakaran sekam mengandung gas metan berkadar 30% itulah yang menjadi sumber bahan bakar kompor.

Gas mengalir melalui pipa polivinilchlorida berdiameter 2,5 cm. Metan atau metana merupakan gas yang tak berbau, tanpa warna, mudah terbakar, dan sulit larut dalam air.

Gas sekam yang digunakan Janan itu hasil inovasi Soelaiman Budi Sunarto. Budi selama ini dikenal sebagai produsen bioetanol di Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Banyak Bahan

Menurut Budi, dengan 6 kg sekam, kompor menyala hingga 3 jam tanpa henti. Itu setara dengan 1,5 liter minyak tanah. Saat ini harga seliter minyak tanah Rp5.000 atau Rp7.500 per 1,5 liter. Sedangkan sekam di Karanganyar, Jawa Tengah, tak ada harganya.

Semakin besar volume bahan baku, kian lama kompor menyala. Sekam dapat ditambahkan ketika persediaan dalam tabung menipis. Itu setelah mengeluarkan sisa pembakaran sekam dalam tabung. Abu itu masih bermanfaat sebagai pupuk atau media tanam.

Budi pun menyempurnakan gas temuannya. Agar lebih aman, ia mempertebal tabung hingga 5 mm; sebelumnya, 3 mm. Tabung bahan baku itu ia masukkan ke dalam drum yang sebagian permukaannya diberi air untuk menurunkan energi partikel metan (lihat ilustrasi). Dengan penambahan air, suhu gas turun sehingga mencegah tabung meledak. Tabung bahan baku berkapasitas 50 kg mampu menyalakan sebuah kompor selama 8 jam nonstop.

Jika kadar metana sekam 30%, 50 kg bahan baku setara dengan gas berbobot 15 kg. Selain sekam, beberapa bahan potensial lain adalah serbuk gergaji, kulit durian, jerami, dan klobot alias kulit jagung. Cara menyalakan kompor sama saja: meletakkan arang kayu membara di bagian dasar tabung dan mengaktifkan blower berkekuatan 5 watt.

Bagaimana jika listrik padam? Menurut Budi energi untuk blower dapat digantikan dengan aki atau baterai. Budi memasang press guege di tangki penampung gas untuk mengetahui ketersediaan tekanan gas. Dengan melihat alat itu pengguna kompor biogas tahu kapan harus menambah sekam.

Menurut Budi, kompor gas tenaga sekam sudah terjual 9 buah sejak diluncurkan pada Januari 2009. “Yang inden memesan sekarang ada 18 orang,” kata pria kelahiran Semarang 29 Mei 1963 itu.

Harga sebuah kompor dengan tangki 5 kg Rp3 juta. “Biaya produksi untuk membuat kompor sangat tinggi, terutama untuk pengadaan besi pelat setebal 5 mm,” kata Budi. n TRUBUS

Saturday 14 February 2009

Mau Kemana Pendidikan Indonesia?

Berawal ketika membaca artikel rizk “Pendidikan Indonesia = Pembunuhan Potensi” yang sangat menarik hati saya untuk mendiskusikannya kembali dengan si empunnya di kemudian hari. Banyak yang kita diskusikan kala itu menyoal pendidikan di Indonesia saat ini. Saya lalu teringat oleh cerita salah seorang teman saya yang mendapatkan kesempatan belajar 1 bulan di aussy ( baca: Australia ). Di sana, hanya terdapat maksimal 20 siswa dalam satu kelas yang di-ajar oleh 3 guru sekaligus membuat para siswa bisa terfokus dan tidak bisa berbuat macam-macam misal : menyontek ataupun melihat buku ketika ulangan berlangsung. Terdapatnya 3 laptop sekaligus dalam satu kelas membuat para siswa dapat melihat contoh-contoh soal dari internet pastinya. Saya lalu tertegun tidak percaya ketika ia bercerita bahwa setiap siswa diberi kebebasan memilih 6-7 mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan kemampuan mereka masing-masing.

Bayangkan dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Terdapat kurang lebih 35 anak dalam satu kelas yang di-ajar oleh 1 guru. Jangankan laptop, penghapus yang ditinggakan beberapa menit pun pasti hilang dalam sekejap. Setiap siswa dibebani dengan kurang lebih 16 mata pelajaran yang kesemuannya itu belum tentu mereka suka. Sebenarnya apa tujuan pemerintah menetapkan aturan semacam itu. Kita dituntut untuk belajar apa yang tidak kita sukai. Kita juga dituntut untuk belajar apa yang sebenarnya bukan menjadi tujuan kita di masa yang akan datang. “Inikah Pendidikan Indonesia ?”

Andai para pemerintah mau meniru system pendidikan di negeri seberang. Andai sejak kecil kita sudah diarahkan untuk belajar apa yang menjadi tujuan kita di masa yang akan datang.

Sumber: (http://drganteng.blogspot.com/2007/12/inikah-pendidikan-indonesia.html)