Wednesday 30 January 2013

DenBagusE



     Orang Jawa mengenal istilah DenBagusE (baca: Den Bagus-e). Bila diurai "den" itu berarti tuan sementara "bagus" itu bermakna cakep atau tampan. Tapi bila disatukan menjadi Den Bagus adalah kata ganti orang untuk menyebut pemuda atau remaja berdarah biru atau yang "berkasta" priyayi. Den Bagus berbeda dengan Den Mas karena Den Mas itu panggilan singkat Raden Mas, sudah merujuk tanda pangkat dalam struktur birokrasi tradisional. 

Hal menarik ketika manusia Jawa juga mengenal istilah Den Bagus-e. Akhiran "e" di belakang bisa diartikan sebagai "nya" dalam bahasa Indonesia alias kata ganti orang ketiga. Tapi akhiran "e" juga bermakna sendiran atau ejekan terselubung. Btw, Den Baguse jangan dibayangkan sebagai pemuda priyayi terpandang. Den Baguse adalah nama panggilan untuk tikus. Hewan pengerat yang dalam kerangka berpikir Jawa identik dengan kotor, berperilaku busuk-destruktif, hama, dan licik. Tapi jadi makin menarik mengapa kata "Den Baguse" untuk menyebut tikus? Pertama, huruf "e" yang terletak samar di belakang menjadi pembeda dengan Den Bagus (beneran). Kedua, orang Jawa sudah tobat dengan perilaku tikus (tikus sawah dalam rekam memori orang desa dan tikus rumah dalam rekam memori orang kota) sebagai hesan super kurang ajar. Kemampuan beradaptasi dengan kehidupan dan kebiasaan komunitas manusia adalah salah satu biang: di mana ada manusia di sana ada tikus. 

Yang lagi menarik bahwa blueprint di kepala orang Jawa terlanjur terekam stereotipe bahwa tikus punya karakter (mampu) balas dendam bila sakit hati. Salah satu biang dendam kesumat tikus dipercaya terbit saat saksikan teman dibasmi. Biasa mereka akan mengamuk sejadinya. Jadi inget satu temen SD dan satu temen SMP pernah berangkat sekolah bersendal jepit dengan perban di jempol kaki. Ketakutan wabah dendam tikus akhirnya membuat orang Jawa memilih istilah Den Baguse untuk tidak menyebut "tikus" saat bergossip kenakalan tikus semalam. Sederhana alasan: biar tikus tak marah mendengar saat dibicarakan orang. 

Tapi tikungan yang paling lucu adalah istilah Den Baguse juga dipakai untuk menyebut orang bukan kultur priyayi tapi bergaya priyayi (bukan ningrat tapi sok bergaya ningrat). Tentu saja senutan ini tidak masuk ranah standart dalam kerajawian bahasa Jawa melainkan sekedar berfungsi sebutan-sindiran. Hal sama terjadi pada Kyai-"ne" yang misal hanya seekor bernama kerbau.

1 comment:

Beri komentar: