Monday 7 September 2009

Reinterpretasi Kemerdekaan Indonesia


Hari ini tepat 21 hari kita meninggalkan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Hari ini kita masih melihat satu dua merah putih yang masih berkibar penuh entah karena hebatnya nasionalisme pemiliknya atau hanya lupa. Semakin jauh dari peristiwa kemerdekaan tak pelak memang punya andil mengurangi sense pada perjuangan kemerdekaan kita. Saya punya beberapa catatan tentang ini.
Saat saya menjadi panitia lomba jalan sehat di kampung (17 Agustus 2009 lalu) tiba-tiba datang seorang tetangga usia 50-an tahun yang hadir terlambat. Bapak itu menyalami semua peserta dan panitia yang ada sambil berkali-kali mengucapkan kata selamat merdeka sambil menggenggam tangan di udara tiap usai bersalaman. Orang itu tidak berolok atau main-main karena tiap tahun ia melakukan hal yang sama. Tidak tampak ada orang berani menjawabnya dengan pekikan merdeka yang sama termasuk saya. Kebanyakan orang membalas jabat tangannya dengan sekedar senyum, ketawa, diam-berpikir, atau paling-paling berjabat sambil menjawab "selamat" saja atau "merdeka" saja itupun dengan nada teramat lirih. Kalau boleh saya menyimpulkan mengapa orang tidak membalas teriakan merdeka serenyah orang itu. Mungkin masyarakat berpikir sama, "emang hari ini Inonesia sudah merdeka sejak sekian tahun yang lalu so... ada apa dengan merdeka?"
Tanggal 17 Agustus malam saya coba buka email dan ternyata ada sahabat lama yang baru kirim. Terhenyak juga saya membaca isi emailnya,
"Merdeka!!!!!!!! Merdeka Pak Ajie! Selamat Hari Kemerdekaan ke 64 semoga kita senantiasa diberikan kesejahteraan dan keadilan sosial, kerakyatan, persatuan dan kemanusiaan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Merdeka!!!! Merdeka!!!! Merdeka !!!!"
Sungguh ini pengalaman tidak biasa. Kita biasa mendapat kiriman ucapan selamat ulang tahun diri, lebaran, tahun baru, marhaban ya ramadhan, dan sebagainya. Tapi ini.... Sungguh ini ucapan langka terutama ketika ingatan orang akan esensi kemerdekaan telah terkubur himpitan kebutuhan hidup. Fenomena Indonesia merdeka seolah telah out-offdate atau tersingkir ke sistem recycle bin memori masyarakat.

Saya tidak tahu apakah sindrom ini dapat menjangkiti para tokoh panyelenggara negara kita juga. Saya kira tidak, karena beliau-beliau adalah orang-orang terbaik yang kita punya. Tapi keraguan mulai muncul negara bereaksi sangat minim ketika pulau-pulau dan aneka produk budaya Indonesia banyak didaku negara tetangga sebagai komoditas bernilai ekonomi yang menggemukkan kantong mereka. Sikap tegas memang tentu tidak selalu dibayangkan dengan "perang". Sikap tegas bisa ditempuh melalui upaya penguatan bergaining seperti diplomasi, promosi, dan semakin memacu kreatifitas anak negeri menciptakan hal baru. Tapi agaknya penyelenggara negara se-gamang rakyatnya dalam mengingat "merdeka". Agaknya penyebabnya pun sama karena himpitan kebutuhan ekonomi. Bagaimana dapat menunjukkan sikap tegas bila rakyatnya masih mengemis dollar dan "ringgit" ke negara -negara tetangga ini. Repot memang.

Sejenak ingatan saya terlempar kembali pada kejadian tanggal 17 Agustus 2009 itu. Pikiran menggelitik saya muncul, mungkin orang Indonesia tidak mampu berteriak "merdeka" lantang karena gagap merasa tidak lagi merdeka.

special say for Coklat-Band:
Coklat dengan lagu-lagunya adalah contoh pahlawan-pahlawan kemerdekaan hari ini.