Tuesday, 5 June 2012

Republik Negosiasi


Cari semangka di deret kios buah depan pasar raya Salatiga. Saat nawar rada kaget karena dapat protes lirih, "Kok ditawar Yah...?" Ya iya musti ditawar kalau beli di sini. "Kalau di toko?" Kalau di toko ya jangan, kagak boleh. "Lho kemaren ayah beli di toko kok ditawar yooo..." (aduh medhok Salatiga banget). Di mana di tawar tanyaku. "Itu di toko listrik itu." Tangan mungil menunjuk toko Gloria di sebelah. Waduh mati gimana jelasinnya, kacau dah definisiku tadi. Sambil jalan pulang aku coba jelasin sebisa aku terserah dia ngerti atau tidak. Kata orang-orang tua anak2 menyimpan informasi yang di dapatnya sekalipun tak mengerti untuk dibongkar (dianalisis) lain hari ketika ia mendapat pasangan variabel yang dibutuhkan untuk mencerna. Anakku, masyarakat Indonesia tidak mengenal harga fix dalam jual beli kata Geertz. Mereka lebih menyukai harga luncur yang dihasilkan dari tawar menawar. Mungkin "kepuasan" itu budaya juga bukan sekedar psikologis. Penjual memilih bersibuk ria  bertaruh harga dalam permainan tawar-menawar dengan harapan untung yang lebih tinggi. Kepiawaian mempertahankan harga dan menawar menjadi kebanggaan tersendiri dalam masyarakat. Meninggalkan penjuan dengan barangnya tanpa menawar menimbulkan galau tersendiri bagi pedagang sebaliknya barang tak boleh ditawar juga buru-buru akan ditinggal atau dicap mahal oleh pembeli. 
Budaya tawar-menawar berkembang jadi karakter penyakit manakala saling tipu menipu sebelum arena tawar menawar dibuka. "Nawar kok seperempatnya, nawar itu setengahnya malah kurang dari setengahnya terus naik...naik... gitu," demikian nasehat nenekku dulu. Jadi orang sudah menaikkan sekian kali lipat agar bila ditawar seminimal mungkin juga masih untung berlipat. Di sisi lain pembeli pun sudah tak asing lagi bahwa  kebiasaan itu biasa dilakukan pedagang. Boleh dibilang sama-sama tahu. akhirnya tinggal budaya kepuasan saja dalam lingkaran permainan tawar-menawar. Dipandang dari sudut pandang lain sesungguhnya ini kontraproduktif. Berapa waktu terbuang dan  tersita buat tawar menawar? Bukankah untung sedikit tapi cepat dan pasti memungkinkan segera memutar modal berganti koleksi. Bukankan Segera menuntaskan pembelian lebih produktif waktu bisa digunakan kerja lagi. Tapi masyarakat ini tentu menolak mentah-mentah pikiran logis ini. "Itulah seni-nya jual beli," kata seorang temen yang makelar mobil.    
Kebiasaan tawar menawar membawa kebudayaan ke dalam proses pembusukan manakala tradisi tawar menawar ini mulai bermain mata dengan budaya menerabas. Kena tilang polisi tawar menawar, DPR mau putuskan sebuah produk hukum tawar menawar proyek, penegakan hukum narkoba Corby tawar menawar dengan Australia. Tidak ada sesuatu yang pasti akhirnya berkembang di Republik ini bahkan hingga masalah hukum, keadilan, dan kesejahteraan. Republik Negosiasi mungkin pas untuk disematkan. Pancasila dan UUD45 sebagai produk hukum tertinggi negara mengatur bahwa semua agama berkedudukan sama namun untuk melakukan misa saja harus dikejar-kejar, sudah tiba di tepi jalan masih digusur pula sampai entah kapan negosiasi berakhir. Apapun yang terjadi negara ini harus tetap kita cintai anakku.... ternyata kamu sudah tidur.

1 comment:

Beri komentar: