Tuesday, 5 June 2012

Refleksi Hari Kebangkitan Bangsa


Seharian terjebak dingin AC ruangan dalam Seminar Nasional Membangun Karakter Bangsa melalui Pemantapan Kebudayaan Nasional dan Kesadaran Historis di UNDIP Semarang. Sayang pembicara dan tema kurang menggigit. Perspektif panitia juga masih rancu antara kebudayaan dengan kesenian (sementara kesenian hanya bagian kecil dari kebudayaan yang menyuguhkan adiluhung dan keindahan). Tidak ada hal baru tapi menginspirasi. Keyword menarik adalah "amnesia historis" dan "Java en biten gewsten". Tema yang hampir mirip hampir ku sampaikan dalam seminar kebangkitan bangsa beberapa minggu lalu sayang kecocokan tanggal pelaksanaan tak tercapai. 
Bangsa Indonesia lupa bahwa mereka adalah plural dan multikultur yang terjajah di masa lalu karena terpecah belah demi kepentingan lokal sesaat. Kapitalisme dan kolonialisme telah menjadi musuh bersama hingga menyatukan paksi-paksi kelompok kultur berbeda dalam imagine nation bernama Indonesia. Problem muncul ketika hegemoni negara (pusat) melemah dan orientasi tantangan berubah. Pada masa lalu Indonesia disatukan oleh mitos nasib yang sama sementara bangsa hari ini disuguhi realitas nasib yang berbeda. Ketimpangan terjadi dalam kerangka pusat-daerah, Java en biten gewsten (alias Jawa dan luar Jawa), partai, status sosial, dll. Uang yang berputar tertahan di Jawa sementara di Jawa sendiri lebih terkonsentrasi di Jakarta, padahal di Jakarta juga cuma mengganjal di kantong2 segelintir tokoh. Pembangunan tersetrata menurut terminologi ini. Belum lagi hak/kwajiban atas hukum yang berbeda di masyarakat (ambil contoh kecil lihat perilaku berlalulintas Harley Davidson di daerah). Sadar nggak sih aneka ketimpangan2 mengakses hak/kwajiban kemanusiaan suburkan komunisme, fundamentalisme, premanisme, anarkisme dan kriminalitas? Sparatisme kedaerahan, nepotisme, dan agama-isme akhirnya menjadi benteng terakhir bagi "pengamanan aset pribadi" oleh masyarakat. Masyarakat tumbuh jadi pribadi individualis, praktis (penerabas/jalan pintas asal selamat), gemar pungli (pungutan liar), dan eksklusif. 
Bila tak boleh disebut negara gagal yaa bangsa ini yang gagal memupuk nasionalisme. Bangsa ini minim produktifitas dan prestasi yang mampu membanggakan warganya sebagai bangsa Indonesia. Akibatnya mereka mencari kebanggaan dalan kesukuan, kelompok sosial, dan agama sentris. Jangan lupa bahwa suburnya geng motor, remaja pengelana (menggelandang) bergaya punk dijalan, secooter bodol (bahasa Makasar: tapo-tapo), aksi graffity, terorisme, perkelahian pelajar, bonek, kerusuhan, dan aneka masalah sosial serupa adalah sekedar dampak. So... apakah kita hanya akan menunggu semetara anak2 kita hidup dalam alam carut marut ini untuk mendewasa? Bangsa ini harus sibuk pikiran dan fisiknya dalam skala nasional. Cuma ada dua pilihan, tunggu pemimpin hebat yang belum tentu datang tepat waktu atau mari berbuat sekalipun dalam skala mini.

No comments:

Post a Comment

Beri komentar: